Minggu, 25 Desember 2011

Aqidah - Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia

1. Kehendak Mutlak
Aliran-aliran ilmu kalam berbeda pendapat mengenai kekuatan akal, fungsi dan wahyu dan kebebasan atau kehendak, perbuatan manusia telah memunculkan pula perbedaan pendapat tentang kehendak mutlak dan keadilan Tuhan.Pangkal persoalan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan adalah keberadaan Tuhan sebagai Tuhan alam semesta, sebagai pencipta alam Tuhan haruslah mengatasi segala yang ada bahkan harus melampaui segala aspek yang ada yaitu eksistensi yang mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas karena tidak ada eksistensi karena lain yang mengatasi dan melampaui, yang dipahami esa dan unik.
Perbedaan aliran-aliran kalam dalam persoalan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan didasari pula oleh perbedaan pemahaman terhadap akal dan fungsi wahyu.

a.        Mu’tazilah
Manusia bebas merdeka melakukan perbuatannya sendiri dan kekuasaan Tuhan terbatas dan memandang kekuasaan Tuhan dari sudut kepentingan manusia. Tuhan adil jika Tuhan memberikan hak sebenarnya kepada manusia.

b.       As-ariyah
Aliran ini bertolak belakang dengan mu’tazilah. As-ariyah memandang keadilan Tuhan dari sudut kehendak dan kekuasaan Tuhan yahng bersifat absolute. Tuhan adalah pencipta dan pemilik segala-galanya, karena itu apapun yang dilakukan Tuhan adalah adil. Sebab Ia memperlakukan ciptaan dan miliknya sendiri. Keadilan menurut aliran ini adalah menempatkan sesuatu ditempat yang sebenarnya.

c.       Maturidiyah Samarkhan dan Bukhara
Maturidiyah Samarkhan ini memandang keadilan Tuhan sama dengan Mu’tazilah, sedangkan pendapat Maturidiyah Bukhara sejalan dengan pemikiran as-ariyah.

2.      Keadilan Tuhan
Perbedaan aliran-aliran kalam dalam persoalan kehendak mutlak dan keadilan tuhan didasari pula oleh perbedaan pemahaman terhadap akal dan fungsi wahyu. Keadilan Tuhan tersebut menurut beberapa aliran yaitu:
a.       Mu’tazilah
Manusia bebas merdeka melakukan perbuatannya sendiri dan kekuasaan Tuhan terbatas dan memandang kekuasaan Tuhan dari sudut kepentingan manusia.
b.       As-ariyah
Aliran ini bertolak belakang dengan mu’tazilah, as-ariyah memandang keadilan Tuhan dari sudut kehendak dan kekuasaan Tuhan yang bersifat absolute. Tuhan adalah pencipta dan pemilik segala-galanya, karena itu apapun yang dilakukan Tuhan adalah adil, sebab ia memperlakukan ciptaan dan miliknya sendiri. Keadilan menurut aliran ini adalah menempatkakn sesuatu di tempat yang sebenarnya.
c.       Maturidiyah (Samarkhan dan Bukhara)
Maturidiyah Samarkhan ini memandang keadilan Tuhan sama dengan mu’tazilah, sedangkan pendapat maturidiyah Bukhara sejalan dengan pemikiran As-ariyah.

3.      Aliran-aliran dalam tentang kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan
Aliran-aliran dalam tentang kehendak  mutlak dan keadilan tuhan dan perbuatan tuhan dan perbuatan manusai yaitu :
a.       Mu’tazilah
Aliran ini mengatakan dengan aliran rasional yang menempatkan akal pada posisi yang tinggi dan menyakini kemampuan akal untuk memecahkan problema teologis yang berpendapat kekuasaan tidak mutlak sepenuhnya. Kekuasaannya dibatasi oleh beberapa hal yang diciptakannya sendiri. Hal-hal yang membatasi kekuasaan tuhan tersebut diantara lain :
Ø  Kewajiban-kewajiban untuk menunaikan janji-janjinya seperti janjinya memasukkan orang saleh kedalam syurga dan memasukkan orang yang berbuat jahat ke dalam neraka
Ø  Kebebasan dan kemerdekaan manusia untuk melakukan perbuatannya. Menurut mu’tazilah Allah memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada manusia untuk melakukan perbuatan
Ø  Hukum Allah. Hukum Allah menciptakan alam semesta ini dengan hokum-hukum tertentu yang bersifat tetap.
b.       As’ariyah
Menurut As’ariyah tuhan berkuasa mutlak atas segala-galanya. Tidak ada sesuatupun yang membatasi kekuasaannya itu, karena kekuasaan Tuhan bersifat absolute, bisa saja orang jahat atau kafir ke dalam syurga atau memasukkan orang mukmin yang saleh ke dalam neraka., jika hal itu dikehendakinya. Dalam hal ini bukti berarti tuhan tidak adil. Keadilan tuhan tidaklah berkurang dengan perbuatannya itu sebab semua yang ada adalah ciptaan dan miliknya, dia berhak berbuat apa saja terhadap ciptaan dan miliknya.
c.       Maturidiyah
Tuhan memiliki kekuasaan yang mutlak, namu keutlakannya tidak semutlak paham yang dianut oleh paham As’ariyah, inti paham maturidiyah adalah tuah tak mungkin melanggar janjinnya kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat jahat. Pendapat ini menunjukan bahwa kekuasaan tuhan tidak mutlak sepenuhnya sebagaimana pendapat as’ariyah sebab masih terkandung adannya kewajiban tuhan dalam menepati janji.


Perbuatan Tuhan

Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa tuhan melakukan perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dan zat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya
Segala perbuatan Allah terbit dari ilmu iradadnya. Tiap-tiap sesuatu yang terbit dari ilmu dan iradad berpangkal pula kepada ikhtiar (kebebasan), tiap-tiap yang terbit dari ikhtiar tidak satupun yang wajib dilakukan oleh yang mempunyai ikhtiar. Oleh karena itu tidak ada satupun diantara perbuatan-perbuatannya yang dilakukan oleh zatnya, maka segala perbuatan Allah seperti menciptakan, member rezki, menyuruh dan mencegah, menghazab dan member nikmat adalah merupakan, sesuatu yang tetap bagi Allah dengan kemungkinan yang khusus.
Aliran ini sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik, namun ini tidak berarti tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu, di dalam al-Qur’anpun dijelaskan bahwa Tuhan tidak berbuat zalim.
Paham kewajiban Tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik mengkonsekuensikan aliran muktazilah memunculkan kewajiban allah sebagai berikut : 
  1. Kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia 
  2. Kewajiban mengirimkan rasul 
  3. Kewajiban menepati janji
2. Aliran Asyi’ariyah
Menurut asyi’ariyah, paham kewajiban tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia , sebagaimana dikatakan aliran mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak tuhan. Sedangkan as’ariyah tidak menerima paham tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat baik sekehendak hatinya terhadap makhluk.

3.Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara maturidiyah samarkahn adinbakhara, aliran Maturidiyah samarkhan juga memberikan batas dan kehendak mutlak tuhan. Berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian tuhan mempunyai melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengumuman rasul, dipandang sebagai, kewajiban tuhan, sedangkan Maturidiyah Bukharirah memiliki pandangan yang sama dengan as’ariyah, bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban, namun sebagaimana dijelaskan oleh basdawi tuhan pasti menepati janjinya dan tentang pengiriman rasul sesuai dengan paham, mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja

Perbuatan Manusia  
Akar dari masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia itu sendiri. Perbuatan manusiapun mulai dipertanyakan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan tuahn bergantung pada kehendak dan keleluasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya ?. Apakah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan?
Ada beberapa pendapat mengenai hal-hal tersebut :

1.      Aliran Jabariyah

Pendapat aliran ini terbagi 2:
  • Jabariyah ekstrim: Berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya
  • Jabariyah moderat: Mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik, perbutan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya, tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya
2.      Aliran Qadariyah
Aliran ini menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan utnuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya, dari semua penjelasan diatas sungguh perbuatan manusia tidak ada kaitannya dengan keinginan/kehendak tuhan. Seperti yang telah diterangkan dalam Surat Ar-Ra’du : 11
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’du: 11)

3.      Aliran Mu’tazilah
Dalam hal ini pendapat Mu’tazilah hamper sama dengan Qadariyah yang memandang manusia mempunyai daya yang sangat besar dan bebas. Manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, kepatuhan dan ketaatan manusia kepada Tuhan adalah atas kehendaknya sendiri. Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya.

4.      Aliran Asyari’ah
Dalam paham aliran ini manusia ditempatkan pada posisi yang  lemah, manusia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya, manusia kehilangan keaktifan, sehingga manusia bersifat pasif dalam perbuatannya. Aliran ini berlandaskan Firman Allah:
Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". (Ash Shafaat: 96)

Pada prinsipnya, aliran ini berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya.

5.      Aliran Maturidiyah
Terdapat 2 pendapat:
a.       Maturidiyah Samarkhan
Faham Maturidiyah Samarkhan lebih dekat dengan faham Mu’tazilah, kehendak dan daya berbuat pada diri manusia dalam arti kata sebenarnya bukan kiasan, perbedaannya dengan Mu’tazilah ialah daya untuk berbuat  tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya.
b.       Maturidiyah Bukhara
Dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkhan, hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya. Menurutnya untuk perwujudan perbuatan manusia tidak mempunyai daya hanya Tuhanlah yang dapat mencipta dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptankan Tuhan baginya.


KEKUASAAN DAN KEHENDAK MUTLAK TUHAN
1.       Latar Belakang Masalah Perbedaan pendapat pada manusia adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Jika manusia sejak kecilnya memandang alam sekitarnya dengan pandangan filosofis – sementara pandangan orang berbeda-beda, maka kelanjutan ialah bahwa gambaran dan imajinasi manusia juga berbeda-beda. Demikian juga halnya yang terjadi dalam kenyataan kehidupan kaum muslimin, di mana sejarah mencatat bahwa kaum muslimin sepeninggal Rasulullah SAW. Setelah terbagi kepada beberapa aliran dalam bidang Teologi yang semulanya hanya dilator belakangi oleh persoalan politik, seperti : Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Masing-masing aliran berbeda pendapat dalam mengemukakan konsep mereka dalam bidang teologi, di samping disebabkan karena mamang munculnya perbedaan itu terkait langsung dengan perbedaan kecenderungan, tingkat pengetahuan dan pengalaman, juga disebabkan karena di antara dasar-dasar agama, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi memberikan peluang untuk munculnya perbedaan persepsi dalam memberikan peluang untuk munculnya perbedaan persepsi dalam memberikan interpretasi, khususnya dalam lapangan teologi seperti masalah sifat-sifat tuhan, perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan, keadilan, kehendak muthlak Tuhan, akal dan wahyu.
serupa ini tak dapat diberikan kepada Tuhan. Selanjutnya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia yang menurut faham Mu’tazilah memang ada. Lebih lanjut lagi, kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh nature atau hukum alam(sunnah Allah) yang tidak mengalami perubahan. Al jahiz mengatakan bahwa tiap-tiap benda mempunyai nature dan sifat sendiri yang mempunyai efek tertentu menurut nature masing-masing. Lebih tegas Al Khayyat menerangkan bahwa tiap benda memiliki nature tertentu dan tak dapat menghasilkan kecuali efek yang itu-itu juga; api tak dapat menghasilkan apa-apa kecuali panas, dan es tak dapat menghasilkan apa-apa kecuali dingin. Efek yang ditimbulkan tiap benda, menurut Mu’ammar seperti gerak, diam, rasa, warna, bau, panas, dingin, basah dan kering, timbul sesuai dengan nature dari masing-masing benda yang bersangkutan. Sebenarnya efek yang ditimbulkan tiap benda bukan perbuatan Tuhan. Perbuatan Tuhan hanyalah menciptakan benda-benda yang mempunyai nature tertentu. Dari tulisan-tulisan seperti di atas itu dapat ditarik kesimpulan bahwa kaum Mu’tazilah percaya pada hukum alam atau sunnah Allah yang menganut perjalanan kosmos dan dengan demikian menganut faham determinisme. Dan determinisme ini bagi mereka, sebagai kata Nadir, tidak berubah-ubah sama dengan keadaan Tuhan yang juga tidak berubah-ubah. Sebagai penjelasan selanjutnya bagi faham sunnah Allah yang tak berubah-ubah ini dan determinisme ini; ada baiknya dibawa di sini uraian Tafsir al-Manar. Segala sesuatu di alam ini, demikian al Manar, berjalan menurut sunnah Allah dan sunnah Allah itu dibuat Tuhan sedemikian rupa sehingga sebab dan musabab di dalamnya mempunyai hubungan yang erat. Bagi tiap sesuatu Tuhan menciptakan sunnah tertentu. Umpamanya sunnah yang mengatur hidup manusia berlainan dengan sunnah yang mengatur hidup tumbuh-tumbuhan. Bahkan juga ada sunnah yang tidak berubah-ubah untuk mencapai kemenangan. Jika seseorang mengikuti jalan yang ditentukan sunnah ini, orang akan mencapai kemenangan, tetapi jika ia menyimpang dari jalan yang ditentukan sunnah itu, ia akan mengalami kekalahan. Ada pula sunnah yang membawa pada kesenangan dan ada yang membawa pada kesusahan. Keadaan seorang mukmin atau seorang kafir tidak membawa pengaruh dalam hal ini. Sunnah tidak kenal pada pengecualian, sungguh pun pengecualian untuk Nabi-nabi. Sunnah tidak berubah-ubah dan Tuhan tidak menghendaki supaya sunnah menyalahi nature. Oleh karena itu orang sakit yang memohon pada Tuhan supaya ia diberikan kesehatan kembali, sebenarnya meminta : “Tuhanku, hentikanlah untuk kepentinganku sunnah-Mu yang Engkau katakan tidak akan berubah-ubah itu”. Jelas bahwa sunnah Allah tidak mengalami perubahan atas kehendak Tuhan sendiri dan dengan demikian merupakan batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Semua uraian tersebut di atas menunjukan bahwa dalam faham Mu’tazilah kekuasaan mutlak Tuhan mempunyai batas-batasan; dan Tuhan sendiri, sebagai kata al-Manar, tidak bersikap absolute seperti halnya Raja Absolut yang menjatuhkan hukuman menurut kehendaknya semata-mata. Keadaan Tuhan dalam faham ini, lebih dekat menyerupai keadaan Raja Konstitusional, yang kekuasaan dan kehendaknya dibatasi oleh konstitusi.”1) Perspektif Maturidiyah Ini adalah perspektif aliran Maturidiyah yang saya kutif langsung dari bukunya Prof. Dr. Harun Nasution yang berjudul Teologi Islam. “Adapun kaum Maturidi, golongan Bukhara menganut pendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Menurut al-Bazdawi, Tuhan memang berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya menurut kehendak-Nya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa-Nya, dan tidak ada larangan-larangan
terhadap Tuhan. Akan tetapi bagaimana pun juga seperti akan dijelaskan nanti, faham mereka tentang kekuasaan Tuhan tidaklah semutlak faham Asy’ ariah. Maturidiyah golongan Samarkand, tidaklah sekeras golongan Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan mutlak Tuhan. Batasan-batasan yang diberikan golongan Samarkand ialah: a. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka, ada pada manusia. b. Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya untuk berbuat baik atau berbuat jahat. c. Keadaan hukuman-hukuman Tuhan, sebagai kata al-Bayadii, tak boleh tidak mesti terjadi. Dalam pada itu kiranya ditegaskan bahwa yang menentukan batasan-batasan itu bukanlah zat selain Tuhan, karena di atas Tuhan tidak ada suatu zat pun yang lebih berkuasa. Tuhan adalah di atas segala-galanya. Batasan-batasan itu ditentukan oleh Tuhan sendiri dan dengan kemauan-Nya sendiri pula.”2) Perspektif Asy’ariyah “Kaum Asy’ariah, karena percaya pada mutlaknya kekuasaan Tuhan, mempunyai tendensi sebaliknya. Mereka menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu. Betul mereka akui bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan bagi manusia dan bahwa Tuhan mengetahui kebaikan dan keuntungan itu, tidaklah menjadi pendorong bagi Tuhan untuk berbuat. Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, al-Asy’ari menulis dalam Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapa pun; di atas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. Tuhan bersifat absolute dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Seperti kata al-Dawwani, Tuhan adalah Maha Pemilik (al-Malik) yang bersifat absolute dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya di dalam kerajaan-Nya dan tak seorang pun yang dapat mencela perbuatan-Nya. Yaitu, sungguh pun perbuatan- perbuatan itu oleh akal manusia dipandang bersifat tidak baik dan tidak adil. Dalam hubungan ini al-Baghdadi mengatakan bahwa boleh saja Tuhan melarang apa yang telah diperintahkan-Nya dan memerintahkan apa yang telah dilarang-Nya. Al-Ghazali juga mengeluarkan pendapat yang sama. Tuhan dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, dapat memberikan hukum menurut kehendak-Nya, dapat menyiksa orang yang berbuat baik jika itu dikehendaki-Nya dan dapat memberi upah kepada orang kafir jika yang demikian dikehendaki-Nya. Kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan yang digambarkan di atas dapat pula dilihat dari faham kaum Asy’ariah bahwa Tuhan dapat meletakan beban yang tak terpikul pada diri manusia, dan dari keterangan al-Asy’ari sendiri, bahwa sekiranya Tuhan mewahyukan bahwa berdusta adalah baik, maka berdusta mestilah baik bukan buruk. Bagi kaum Asy’ariah, Tuhan memang tidak terikat kepada apa pun, tidak terikat kepada janji-janji, kepada norma-norma keadilan dan sebagainya.” 3) Faham Asy’ariah mengenai doa, sunatullah, serta surga & neraka pula berkait erat dengan pemahamannya terhadap kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Yaitu, Tuhan dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, dapat memberikan hukum menurut kehendak-Nya, dapat menyiksa orang yang berbuat baik jika itu dikehendaki-Nya dan
dapat memberi upah kepada orang kafir jika yang demikian dikehendaki-Nya. Karena sifat-Nya yang mutlak dan absolute itu maka Tuhan bisa memasukan orang mukmin ke dalam neraka atau orang kafir ke dalam surga asal Ia menghendaki-Nya. Tuhan bisa melanggar hukum-hukum yang telah di buat-Nya(sunatullah) di dunia. Selanjutnya, atas dasar itu pula melalui doa segala ketentuan Tuhan dapat diubah jika Tuhan menghendaki atau mengabulkan doa yang berdoa. Kesimpulan 1. Bagi Mu’tazilah, Tuhan haruslah patuh kepada hukum-hukum yang Ia buat sendiri. Oleh karenanya terkesan Tuhan tak lagi memiliki kehendak dan kekuasaan mutlak semutlak-mutlaknya. Ini tidak terlepas dari upaya memahasucikan-Nya. 2. Sebaliknya bagi kaum Asy’ariah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tak berbatas atau tak ada yang membatasi-Nya. Oleh karenanya, Ia dapat merubah hukum yang sebelumnya Ia sudah tetapkan, asalkan Ia menghendaki-Nya. 3. Kaum Maturidi agaknya di sini mereka menempatkan fahamnya diantara Mu’tazilah dengan Asy’ariah. Menurut mereka Tuhan memiliki kehendak dan kekuasaan mutlak semutlak-mutlaknya namun Ia juga tak bisa sewenang-wenang berkehendak. 1) Harun Nasution. Teologi islam. UIP. Jakarta. 1986 2) Nasution, Op.cit 3) Nasution, Op.cit

0 comments:

Posting Komentar