Minggu, 25 Desember 2011

Aqidah - Keadilan Tuhan

1.      Faham Muta’zilah
Soal keadilan mereka tinjau dari sudut pandangan manusia, bagi mereka sebagai yang diterangkan oleh Abd al-Jabbar, keadilan erat kaitannya dengan hak dan keadilan diartikan memberikan orang akan haknya . Kata-kata “Tuhan Adil” mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa ia tidak dapat berbuat yang buruk dan bahwa ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. oleh karena itu Tuhan tidak boleh bersifat Zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat menghukum anak orang musyrik lantaran dosa orang tuanya dan mesti memberi upah kepada orang-orang yang patuh pada -Nya dan memberikan hukuman kepada orang-orang yang menentang perintah-Nya. Selanjutnya keadilan juga mengadukan arti berbuat semestinya serta seusai dengan kepentingan manusia. Dan memberi upah atau hukuman kepada manusia sejajar dengan corak perbuatannya. Menurut al-Nazzam an pemuka-pemuka Mu-tazilah lainnya, tidak dapat dikatakan bahwa tuhan berdaya untuk bersifat zalim, berdusta dan untuk tidak dapat berbuat apa yang terbaik bagi manusia.

2.      Faham Asy’ariyah Kaum Asy’ariyah mereka menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatannya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan perbuatan dalam arti sebab dalam mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu betul mereka akui bahwa perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan itu tidaklah mendorong bagi Tuhan untuk berbuat. Tuhan berbuat semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlaknya bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain. Dengan demikian adanya tendensi untuk meninjau dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Dengan demikian keadilan Tuhan mempunyai arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan berbuat sekehendak hati-Nya. Ketidak adilan, sebaliknya berarti “Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang”. Oleh karena itu, Tuhan dalam faham kaum Asy’ariyah dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya, sesungguhnya hal itu menurut pandangan manusia adalah tidak adil. Asy’ari sendiri berpendapat bahwa Tuhan tidaklah berbuat salah kalau memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka. Perbuatan salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan karena di atas Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum. Dengan demikian, Tuhan tidak bisa dikatakan tidak adil. Al-Ghazali juga berpendapat demikian. Ketika adilan dapat timbul hanya jika seseorang melanggar demikian. Ketidakadilan dapat timbul hanya jika seseorang melanggar hak orang lain dan jika seseorang harus berbuat sesuai dengan perintah dan kemudian melanggar perintah itu. Perbuatan yang demikian mungkin ada pada Tuhan. Sekiranya ini dilakukan Tuhan, Tuhan tidaklah berbuat salah dan Tuhan tetap masih bersifat adil. Upah yang di berikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan, Tuhan tetap bersifat adil.

3.      Faham Maturidiyah Faham Maturidiyah ini ada dua golongan pertama golongan maturidiyah Bukhoro yang kedua golongan Maturidiyah di Samarkand. Golongan maturidiyah Bukhoro mempunyai sikap yang sama dengan kaum Asy’ariyah. Menurut Al-Badzawi tidak ada tujuan yang mendorong Tuhan untuk menciptakan kosmos ini. Tuhan berbuat sekehendak hatin-Nya. Dengan kata lain al-Bazdawi berpendapat bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia.
Bagi kaum Mu’tazilah dan kaum maturidiyah kelopak Samarkand persoalan persoalan tersebut tidaklah timbul, karena bagi mereka perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan tetapi adalah perbuatan manusia itu sendiri. Jadi, manusia dihukum atas perbuatan yang dikehendakinya sendiri dan yang dilakukan bukan dengan paksaan, akan tetapi dengan kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya. Bagi kaum Maturidiyah kelompak Bukhra, karena sefaham dengan kaum Asy’ariyah, maka persoalan itu pada dasarnya ada, akan tetapi faham masyi’ah dan ridha membebaskan golongan bukhara dari persoalan ini.

Perdebatan dan perbedaan diantara aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan sifat-sifat Tuhan tampaknya dipicu oleh saling klaim kebenaran masing-masing, yang dibangun atas dasar kerangka berfikir masing-masing dan klaim menauhidkan Allah. Diantaranya adalah:

1. Aliran Mu’tazilah
Pertentangan antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariyah berkisar sekitar persolan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat, sifat mestilah kekal seperti halnya dzat Tuhan. Jika sifat-sifat itu kekal, yang bersifat kekal bukan hanya satu sifat, tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat membawa pada faham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama atau multiplicity of eternals). Ini selanjutnya membawa pula kepada faham syirk atau olitheisme. Suatu hal yang tak dapat diterima dalam teologi. Lebih jauh lagi, Washil bin Atha menegaskan bahwa siapa saja menetapkan adanya sifat qadim bagi Allah, ia telah menetapkan adanya dua Tuhan.

Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana telah dijelaskan oleh Asy’ari, bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat, dan sebagainya. Ini tidak bearti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, berkuasa, dan sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya, “Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri”. Dengan demnikian, pengetahuan Tuhan, sebagaimana dijelaskan Abu Al-Huzail, adalah Tuahn sendiri, yaitu dzat atau esensi Tuhan.

2. Aliran Asy’ariyah
Pendapat kaum Al-Asy’ari berlawanan dengan faham mu’tazilah. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Tidak dapat dipungkiri bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatannya. Ia juga mengatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya, disamping mempunyai pengetahuan, kemauan dan daya.
Sementara itu, Al-Baghdadi melihat adanya consensus dikalangan kaum Asy’ari, bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat-sifat ini, kata al-Ghazali tidaklah sama dengan esensi Tuhan.

3. Aliran Maturidiyah
Dalam hal sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan pemikiran antara al-Maturudi dan al-Asy’ari, seperti dalam pendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti, sama, basher dan sebagainya. Namun demikian al-Maturidi berbeda pengertian tentang sifat Tuhan dengan al-Asy’ari. AlAsy’ari mengartikan sifat tuhan sebagai susuatu yang bukan zat, melainkan melekat pada zat itu sendiri.Sedangkan al-Maturidi mengatakan sifat tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula dari esensi-nya, siafat-siaft Tuhan mulazamah (ada bersama = inheren) zat tanpa terpisah.
Faham al-Maturidi, dalam memaknai sifat Tuhan cenderung mendekati faham Mu’tazilah. Perbedaannya al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Sedangkan Mu’tazilah menolah adanya sifat-sifat Tuhan.



KEHENDAK MUTLAK TUHAN DAN KEADILAN TUHAN
Faham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam, bergantung pada pandangan apakah manusia mempunyai kebebaasn dalam berkehendak dan berbuat ? Ataukah manusia itu hanya terpaksa saja ?Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia menyebabkan perbedaan penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu pada tempatnya.

1. Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya, kemudian mengharuskan hamba itu untuk menanggung akibat perbuatannya. Dengan demikian manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaaan sedikit pun dari Tuhan. Dengan kebebasan itulah manusia dapat bertanggungjawab atas segala perbuatannya. Tidaklah adil jika Tuhan memberikan pahala atau siksa kepada hambanya tanpamengiringinya dengan kebebasan dalam berbuat.
Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah adalah:

Al-Anbiya (21) : 47 "Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika amalan itu hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan pahalanya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan"

Yasin (36) :54 "Maka pada hari itu orang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalas, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan"

Fusshilat (41) :46 "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, maka pahalanya untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat, maka dosany atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya"

An-Nisa (4) : 40  "Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar biji zarrah niscaya allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar”

2. Aliran Asy’ariyah
Asy’ariyah percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekauasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan kerena kepentingan manusia atau tujuan lainnya. Mereka mengartikan keadilan tuhan dengan menempatkan sesuatu paad tempatnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhaap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikia, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan dapat berbuat sekehendak hatinya. Tuhan dapat memberi pahala atau memberi siksa dengan sekehendak hatinya dan itu semua adalah adil bagi Tuhan.Justru tidaklah adil jika Tuhan tidak berbuat sekehenadknya, karena Dia adalah penguasa mutlak.

3. Aliran Maturidiyah
Dalam hal keadilah dan kehendak Tuhan, Aliran ini terpisah menjadi dua, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Karena menganut faham free will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, kaum maturidiyah samarkand mempunyai posisi yang lebih dekat dengan Mu’tazilah, tapi kekuatan akan dan batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil dari paad yang diberikan Mu’tazilah. Kehendak Tuhan dibatasi oleh keadilah Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuiatannya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajibannya terhadap manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak akan memberi bebean yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukuman, karena Tuhan tidakn dapat berbuat zalim.
Adapun Maturidiyah bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekauasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendakinya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Dengan demikian, keadilan Tuhan terletak paad kehendak mutlaknya, tidak ada satu zat pun yang lebih kuasa dari pada-Nya dan tidak ada batasan bagi-Nya.

Daftar Pustaka:
Al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, Buku 2, terj. Rosihan Anwar dan Taufiq Rahman, Pustaka Setia, Bandung, 2000
Harun Nasution, Teologi Islam ; Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. UI Press, Jakarta, 1986
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam : Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta, 1990
Amat Zuhri, Warna-warni Teologi Islam (Ilmu Kalam), STAIN Pekalongan Press, 2010
Muhammad bin Abdul Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Mustafa Al-Bab Al-Halabi wa Auladuh, Mesir 1987, Juz.

0 comments:

Posting Komentar