This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 25 Desember 2011

Pengantar Ekonomi Mikro - Opini

Koran Harian Kompas. Selasa, 25 Januari 2011

Forst & Sullivan memprediksi total penjualan otomotif di Indonesia pada 2011 menguat tipis 4,3 persen menjadi 797.258 unit dari tahun sebelumnya. Peluncuran model-model baru menjadai pendukung pencapaian itu, selain juga kestabilan perekonomian terhadap kendaraan komersial.
"Model facelift dan baru, seperti Honda Jazz facelift, Suzuki Kizashi dan Alto yang akan diluncurkan tahun ini, bisa menopang penjualannya," papar Vivek Vaidya, Asian Pasific Vive President, Automotive & Transportation Practice Frost & Sullivan di Jakarta, Selasa (25/1/2011).
Selain itu, menurut dia, populasi kaum muda Indonesia yang signifikan juga mampu mendorong pertumbuhan penjualan dalam jangka panjang.
Pertumbuhan mobil penumpang (passanger car) kemungkinan besar tumbuh 4,1 persen menjadi 563.933 unit dan masih mendominasi penjualan dengan sumbangan 70,7 persen. Pertumbuhan kendaraan komersial naik 4,5 persen menjadi 233.325 unit.
Namun, Vidya memperingatkan ada beberapa faktor yang bisa menggoyahkan penjualan, antara lain penerapan pajak progresif dan pajak bea balik nama, kebijakan pembatasan kendaraan, dan inisiatif pemerintah mengembangkan rapid transit bus (transjakarta) atau moda transportasi massal.

Pendapat saya :
Menurut saya kenaikan tipis yang dialami oleh Industri otomotif di Indonesia dalam total penjualannya di tahun 2011 sudah cukup baik. Kenaikan penjualan ini pun merata dalam model mobil yang diluncurkan. Seperti contohnya mobil penumpang (passanger car) yang kemungkinan besar tumbuh 4,1% menjadi 563.933 unit, serta pertumbuhan kendaraan komersial yang naik 4,5% menjadi 233.325 unit.
Hal ini menunjukan bahwa permintaan akan otomotif di Indonesia cukup tinggi. Sehingga tetap menjaga kestabilan perkonomian terhadap Industri otomotif itu sendiri.
“Permintaan didorong oleh sejumlah factor yang mempengaruhi bagaimana cara seseorang memutuskan untuk menghabiskan uang mereka, termasuk harga.” – Buku (Pengantar Bisnis Kontemporer Jilid 1, hal. 106), pengarang Boone & Kurtz.

Dalam hal ini harga juga mengambil peran penting terhadap kenaikan penjualan di bidang otomotif ini. Secara umum, seiring dengan naiknya harga-harga barang dan jasa, maka orang akan membeli dalam jumlah yang lebih kecil. Atau dengan kata lain, seiring dengan naiknya harga-harga, maka jumlah yang akan diminta akan mengalami penurunan.
Permintaan dari populasi kaum muda Indonesia yang signifikan juga mampu mendorong pertumbuhan penjualan dalam jangka panjang, artinya kemampuan konsumen untuk membeli barang atau jasa juga menjadi factor pendorong naiknya penjualan ini.

Walaupun Industri otomotif di Indonesia dikuasai oleh pasar asing, namun hal ini sudah membantu mengembangkan perekonomian di Indonesia khususnya di Industri otomotif tersebut.

Akan tetapi ada beberapa faktor yang meggoyahkan penjualan ini, yaitu penerapan pajak progresif dan pajak bea balik nama yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan kendaraan. Karena pemerintah lebih memilih mengembangkan rapid transit bus (transjakarta) atau mode transportasi missal demi kepentingan masyarakatnya, dengan tujuan mengurangi kemacetan di wilayah Indonesia, khususnya Jakarta, yang kian hari dipadati oleh kendaraan pribadi.
Dalam hal ini pemerintah seakan menjadi pihak yang kontra dalam Industri otomotif di Indonesia, dengan kebijakan-kebijakannya.

Aqidah - Keadilan Tuhan

1.      Faham Muta’zilah
Soal keadilan mereka tinjau dari sudut pandangan manusia, bagi mereka sebagai yang diterangkan oleh Abd al-Jabbar, keadilan erat kaitannya dengan hak dan keadilan diartikan memberikan orang akan haknya . Kata-kata “Tuhan Adil” mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa ia tidak dapat berbuat yang buruk dan bahwa ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. oleh karena itu Tuhan tidak boleh bersifat Zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat menghukum anak orang musyrik lantaran dosa orang tuanya dan mesti memberi upah kepada orang-orang yang patuh pada -Nya dan memberikan hukuman kepada orang-orang yang menentang perintah-Nya. Selanjutnya keadilan juga mengadukan arti berbuat semestinya serta seusai dengan kepentingan manusia. Dan memberi upah atau hukuman kepada manusia sejajar dengan corak perbuatannya. Menurut al-Nazzam an pemuka-pemuka Mu-tazilah lainnya, tidak dapat dikatakan bahwa tuhan berdaya untuk bersifat zalim, berdusta dan untuk tidak dapat berbuat apa yang terbaik bagi manusia.

2.      Faham Asy’ariyah Kaum Asy’ariyah mereka menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatannya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan perbuatan dalam arti sebab dalam mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu betul mereka akui bahwa perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan itu tidaklah mendorong bagi Tuhan untuk berbuat. Tuhan berbuat semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlaknya bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain. Dengan demikian adanya tendensi untuk meninjau dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Dengan demikian keadilan Tuhan mempunyai arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan berbuat sekehendak hati-Nya. Ketidak adilan, sebaliknya berarti “Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang”. Oleh karena itu, Tuhan dalam faham kaum Asy’ariyah dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya, sesungguhnya hal itu menurut pandangan manusia adalah tidak adil. Asy’ari sendiri berpendapat bahwa Tuhan tidaklah berbuat salah kalau memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka. Perbuatan salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan karena di atas Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum. Dengan demikian, Tuhan tidak bisa dikatakan tidak adil. Al-Ghazali juga berpendapat demikian. Ketika adilan dapat timbul hanya jika seseorang melanggar demikian. Ketidakadilan dapat timbul hanya jika seseorang melanggar hak orang lain dan jika seseorang harus berbuat sesuai dengan perintah dan kemudian melanggar perintah itu. Perbuatan yang demikian mungkin ada pada Tuhan. Sekiranya ini dilakukan Tuhan, Tuhan tidaklah berbuat salah dan Tuhan tetap masih bersifat adil. Upah yang di berikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan, Tuhan tetap bersifat adil.

3.      Faham Maturidiyah Faham Maturidiyah ini ada dua golongan pertama golongan maturidiyah Bukhoro yang kedua golongan Maturidiyah di Samarkand. Golongan maturidiyah Bukhoro mempunyai sikap yang sama dengan kaum Asy’ariyah. Menurut Al-Badzawi tidak ada tujuan yang mendorong Tuhan untuk menciptakan kosmos ini. Tuhan berbuat sekehendak hatin-Nya. Dengan kata lain al-Bazdawi berpendapat bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia.
Bagi kaum Mu’tazilah dan kaum maturidiyah kelopak Samarkand persoalan persoalan tersebut tidaklah timbul, karena bagi mereka perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan tetapi adalah perbuatan manusia itu sendiri. Jadi, manusia dihukum atas perbuatan yang dikehendakinya sendiri dan yang dilakukan bukan dengan paksaan, akan tetapi dengan kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya. Bagi kaum Maturidiyah kelompak Bukhra, karena sefaham dengan kaum Asy’ariyah, maka persoalan itu pada dasarnya ada, akan tetapi faham masyi’ah dan ridha membebaskan golongan bukhara dari persoalan ini.

Perdebatan dan perbedaan diantara aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan sifat-sifat Tuhan tampaknya dipicu oleh saling klaim kebenaran masing-masing, yang dibangun atas dasar kerangka berfikir masing-masing dan klaim menauhidkan Allah. Diantaranya adalah:

1. Aliran Mu’tazilah
Pertentangan antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariyah berkisar sekitar persolan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat, sifat mestilah kekal seperti halnya dzat Tuhan. Jika sifat-sifat itu kekal, yang bersifat kekal bukan hanya satu sifat, tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat membawa pada faham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama atau multiplicity of eternals). Ini selanjutnya membawa pula kepada faham syirk atau olitheisme. Suatu hal yang tak dapat diterima dalam teologi. Lebih jauh lagi, Washil bin Atha menegaskan bahwa siapa saja menetapkan adanya sifat qadim bagi Allah, ia telah menetapkan adanya dua Tuhan.

Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana telah dijelaskan oleh Asy’ari, bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat, dan sebagainya. Ini tidak bearti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, berkuasa, dan sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya, “Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri”. Dengan demnikian, pengetahuan Tuhan, sebagaimana dijelaskan Abu Al-Huzail, adalah Tuahn sendiri, yaitu dzat atau esensi Tuhan.

2. Aliran Asy’ariyah
Pendapat kaum Al-Asy’ari berlawanan dengan faham mu’tazilah. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Tidak dapat dipungkiri bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatannya. Ia juga mengatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya, disamping mempunyai pengetahuan, kemauan dan daya.
Sementara itu, Al-Baghdadi melihat adanya consensus dikalangan kaum Asy’ari, bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat-sifat ini, kata al-Ghazali tidaklah sama dengan esensi Tuhan.

3. Aliran Maturidiyah
Dalam hal sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan pemikiran antara al-Maturudi dan al-Asy’ari, seperti dalam pendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti, sama, basher dan sebagainya. Namun demikian al-Maturidi berbeda pengertian tentang sifat Tuhan dengan al-Asy’ari. AlAsy’ari mengartikan sifat tuhan sebagai susuatu yang bukan zat, melainkan melekat pada zat itu sendiri.Sedangkan al-Maturidi mengatakan sifat tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula dari esensi-nya, siafat-siaft Tuhan mulazamah (ada bersama = inheren) zat tanpa terpisah.
Faham al-Maturidi, dalam memaknai sifat Tuhan cenderung mendekati faham Mu’tazilah. Perbedaannya al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Sedangkan Mu’tazilah menolah adanya sifat-sifat Tuhan.



KEHENDAK MUTLAK TUHAN DAN KEADILAN TUHAN
Faham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam, bergantung pada pandangan apakah manusia mempunyai kebebaasn dalam berkehendak dan berbuat ? Ataukah manusia itu hanya terpaksa saja ?Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia menyebabkan perbedaan penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu pada tempatnya.

1. Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya, kemudian mengharuskan hamba itu untuk menanggung akibat perbuatannya. Dengan demikian manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaaan sedikit pun dari Tuhan. Dengan kebebasan itulah manusia dapat bertanggungjawab atas segala perbuatannya. Tidaklah adil jika Tuhan memberikan pahala atau siksa kepada hambanya tanpamengiringinya dengan kebebasan dalam berbuat.
Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah adalah:

Al-Anbiya (21) : 47 "Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika amalan itu hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan pahalanya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan"

Yasin (36) :54 "Maka pada hari itu orang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalas, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan"

Fusshilat (41) :46 "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, maka pahalanya untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat, maka dosany atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya"

An-Nisa (4) : 40  "Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar biji zarrah niscaya allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar”

2. Aliran Asy’ariyah
Asy’ariyah percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekauasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan kerena kepentingan manusia atau tujuan lainnya. Mereka mengartikan keadilan tuhan dengan menempatkan sesuatu paad tempatnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhaap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikia, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan dapat berbuat sekehendak hatinya. Tuhan dapat memberi pahala atau memberi siksa dengan sekehendak hatinya dan itu semua adalah adil bagi Tuhan.Justru tidaklah adil jika Tuhan tidak berbuat sekehenadknya, karena Dia adalah penguasa mutlak.

3. Aliran Maturidiyah
Dalam hal keadilah dan kehendak Tuhan, Aliran ini terpisah menjadi dua, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Karena menganut faham free will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, kaum maturidiyah samarkand mempunyai posisi yang lebih dekat dengan Mu’tazilah, tapi kekuatan akan dan batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil dari paad yang diberikan Mu’tazilah. Kehendak Tuhan dibatasi oleh keadilah Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuiatannya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajibannya terhadap manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak akan memberi bebean yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukuman, karena Tuhan tidakn dapat berbuat zalim.
Adapun Maturidiyah bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekauasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendakinya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Dengan demikian, keadilan Tuhan terletak paad kehendak mutlaknya, tidak ada satu zat pun yang lebih kuasa dari pada-Nya dan tidak ada batasan bagi-Nya.

Daftar Pustaka:
Al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, Buku 2, terj. Rosihan Anwar dan Taufiq Rahman, Pustaka Setia, Bandung, 2000
Harun Nasution, Teologi Islam ; Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. UI Press, Jakarta, 1986
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam : Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta, 1990
Amat Zuhri, Warna-warni Teologi Islam (Ilmu Kalam), STAIN Pekalongan Press, 2010
Muhammad bin Abdul Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Mustafa Al-Bab Al-Halabi wa Auladuh, Mesir 1987, Juz.

Aqidah - Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia

1. Kehendak Mutlak
Aliran-aliran ilmu kalam berbeda pendapat mengenai kekuatan akal, fungsi dan wahyu dan kebebasan atau kehendak, perbuatan manusia telah memunculkan pula perbedaan pendapat tentang kehendak mutlak dan keadilan Tuhan.Pangkal persoalan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan adalah keberadaan Tuhan sebagai Tuhan alam semesta, sebagai pencipta alam Tuhan haruslah mengatasi segala yang ada bahkan harus melampaui segala aspek yang ada yaitu eksistensi yang mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas karena tidak ada eksistensi karena lain yang mengatasi dan melampaui, yang dipahami esa dan unik.
Perbedaan aliran-aliran kalam dalam persoalan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan didasari pula oleh perbedaan pemahaman terhadap akal dan fungsi wahyu.

a.        Mu’tazilah
Manusia bebas merdeka melakukan perbuatannya sendiri dan kekuasaan Tuhan terbatas dan memandang kekuasaan Tuhan dari sudut kepentingan manusia. Tuhan adil jika Tuhan memberikan hak sebenarnya kepada manusia.

b.       As-ariyah
Aliran ini bertolak belakang dengan mu’tazilah. As-ariyah memandang keadilan Tuhan dari sudut kehendak dan kekuasaan Tuhan yahng bersifat absolute. Tuhan adalah pencipta dan pemilik segala-galanya, karena itu apapun yang dilakukan Tuhan adalah adil. Sebab Ia memperlakukan ciptaan dan miliknya sendiri. Keadilan menurut aliran ini adalah menempatkan sesuatu ditempat yang sebenarnya.

c.       Maturidiyah Samarkhan dan Bukhara
Maturidiyah Samarkhan ini memandang keadilan Tuhan sama dengan Mu’tazilah, sedangkan pendapat Maturidiyah Bukhara sejalan dengan pemikiran as-ariyah.

2.      Keadilan Tuhan
Perbedaan aliran-aliran kalam dalam persoalan kehendak mutlak dan keadilan tuhan didasari pula oleh perbedaan pemahaman terhadap akal dan fungsi wahyu. Keadilan Tuhan tersebut menurut beberapa aliran yaitu:
a.       Mu’tazilah
Manusia bebas merdeka melakukan perbuatannya sendiri dan kekuasaan Tuhan terbatas dan memandang kekuasaan Tuhan dari sudut kepentingan manusia.
b.       As-ariyah
Aliran ini bertolak belakang dengan mu’tazilah, as-ariyah memandang keadilan Tuhan dari sudut kehendak dan kekuasaan Tuhan yang bersifat absolute. Tuhan adalah pencipta dan pemilik segala-galanya, karena itu apapun yang dilakukan Tuhan adalah adil, sebab ia memperlakukan ciptaan dan miliknya sendiri. Keadilan menurut aliran ini adalah menempatkakn sesuatu di tempat yang sebenarnya.
c.       Maturidiyah (Samarkhan dan Bukhara)
Maturidiyah Samarkhan ini memandang keadilan Tuhan sama dengan mu’tazilah, sedangkan pendapat maturidiyah Bukhara sejalan dengan pemikiran As-ariyah.

3.      Aliran-aliran dalam tentang kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan
Aliran-aliran dalam tentang kehendak  mutlak dan keadilan tuhan dan perbuatan tuhan dan perbuatan manusai yaitu :
a.       Mu’tazilah
Aliran ini mengatakan dengan aliran rasional yang menempatkan akal pada posisi yang tinggi dan menyakini kemampuan akal untuk memecahkan problema teologis yang berpendapat kekuasaan tidak mutlak sepenuhnya. Kekuasaannya dibatasi oleh beberapa hal yang diciptakannya sendiri. Hal-hal yang membatasi kekuasaan tuhan tersebut diantara lain :
Ø  Kewajiban-kewajiban untuk menunaikan janji-janjinya seperti janjinya memasukkan orang saleh kedalam syurga dan memasukkan orang yang berbuat jahat ke dalam neraka
Ø  Kebebasan dan kemerdekaan manusia untuk melakukan perbuatannya. Menurut mu’tazilah Allah memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada manusia untuk melakukan perbuatan
Ø  Hukum Allah. Hukum Allah menciptakan alam semesta ini dengan hokum-hukum tertentu yang bersifat tetap.
b.       As’ariyah
Menurut As’ariyah tuhan berkuasa mutlak atas segala-galanya. Tidak ada sesuatupun yang membatasi kekuasaannya itu, karena kekuasaan Tuhan bersifat absolute, bisa saja orang jahat atau kafir ke dalam syurga atau memasukkan orang mukmin yang saleh ke dalam neraka., jika hal itu dikehendakinya. Dalam hal ini bukti berarti tuhan tidak adil. Keadilan tuhan tidaklah berkurang dengan perbuatannya itu sebab semua yang ada adalah ciptaan dan miliknya, dia berhak berbuat apa saja terhadap ciptaan dan miliknya.
c.       Maturidiyah
Tuhan memiliki kekuasaan yang mutlak, namu keutlakannya tidak semutlak paham yang dianut oleh paham As’ariyah, inti paham maturidiyah adalah tuah tak mungkin melanggar janjinnya kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat jahat. Pendapat ini menunjukan bahwa kekuasaan tuhan tidak mutlak sepenuhnya sebagaimana pendapat as’ariyah sebab masih terkandung adannya kewajiban tuhan dalam menepati janji.


Perbuatan Tuhan

Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa tuhan melakukan perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dan zat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya
Segala perbuatan Allah terbit dari ilmu iradadnya. Tiap-tiap sesuatu yang terbit dari ilmu dan iradad berpangkal pula kepada ikhtiar (kebebasan), tiap-tiap yang terbit dari ikhtiar tidak satupun yang wajib dilakukan oleh yang mempunyai ikhtiar. Oleh karena itu tidak ada satupun diantara perbuatan-perbuatannya yang dilakukan oleh zatnya, maka segala perbuatan Allah seperti menciptakan, member rezki, menyuruh dan mencegah, menghazab dan member nikmat adalah merupakan, sesuatu yang tetap bagi Allah dengan kemungkinan yang khusus.
Aliran ini sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik, namun ini tidak berarti tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu, di dalam al-Qur’anpun dijelaskan bahwa Tuhan tidak berbuat zalim.
Paham kewajiban Tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik mengkonsekuensikan aliran muktazilah memunculkan kewajiban allah sebagai berikut : 
  1. Kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia 
  2. Kewajiban mengirimkan rasul 
  3. Kewajiban menepati janji
2. Aliran Asyi’ariyah
Menurut asyi’ariyah, paham kewajiban tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia , sebagaimana dikatakan aliran mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak tuhan. Sedangkan as’ariyah tidak menerima paham tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat baik sekehendak hatinya terhadap makhluk.

3.Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara maturidiyah samarkahn adinbakhara, aliran Maturidiyah samarkhan juga memberikan batas dan kehendak mutlak tuhan. Berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian tuhan mempunyai melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengumuman rasul, dipandang sebagai, kewajiban tuhan, sedangkan Maturidiyah Bukharirah memiliki pandangan yang sama dengan as’ariyah, bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban, namun sebagaimana dijelaskan oleh basdawi tuhan pasti menepati janjinya dan tentang pengiriman rasul sesuai dengan paham, mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja

Perbuatan Manusia  
Akar dari masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia itu sendiri. Perbuatan manusiapun mulai dipertanyakan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan tuahn bergantung pada kehendak dan keleluasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya ?. Apakah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan?
Ada beberapa pendapat mengenai hal-hal tersebut :

1.      Aliran Jabariyah

Pendapat aliran ini terbagi 2:
  • Jabariyah ekstrim: Berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya
  • Jabariyah moderat: Mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik, perbutan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya, tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya
2.      Aliran Qadariyah
Aliran ini menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan utnuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya, dari semua penjelasan diatas sungguh perbuatan manusia tidak ada kaitannya dengan keinginan/kehendak tuhan. Seperti yang telah diterangkan dalam Surat Ar-Ra’du : 11
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’du: 11)

3.      Aliran Mu’tazilah
Dalam hal ini pendapat Mu’tazilah hamper sama dengan Qadariyah yang memandang manusia mempunyai daya yang sangat besar dan bebas. Manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, kepatuhan dan ketaatan manusia kepada Tuhan adalah atas kehendaknya sendiri. Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya.

4.      Aliran Asyari’ah
Dalam paham aliran ini manusia ditempatkan pada posisi yang  lemah, manusia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya, manusia kehilangan keaktifan, sehingga manusia bersifat pasif dalam perbuatannya. Aliran ini berlandaskan Firman Allah:
Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". (Ash Shafaat: 96)

Pada prinsipnya, aliran ini berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya.

5.      Aliran Maturidiyah
Terdapat 2 pendapat:
a.       Maturidiyah Samarkhan
Faham Maturidiyah Samarkhan lebih dekat dengan faham Mu’tazilah, kehendak dan daya berbuat pada diri manusia dalam arti kata sebenarnya bukan kiasan, perbedaannya dengan Mu’tazilah ialah daya untuk berbuat  tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya.
b.       Maturidiyah Bukhara
Dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkhan, hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya. Menurutnya untuk perwujudan perbuatan manusia tidak mempunyai daya hanya Tuhanlah yang dapat mencipta dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptankan Tuhan baginya.


KEKUASAAN DAN KEHENDAK MUTLAK TUHAN
1.       Latar Belakang Masalah Perbedaan pendapat pada manusia adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Jika manusia sejak kecilnya memandang alam sekitarnya dengan pandangan filosofis – sementara pandangan orang berbeda-beda, maka kelanjutan ialah bahwa gambaran dan imajinasi manusia juga berbeda-beda. Demikian juga halnya yang terjadi dalam kenyataan kehidupan kaum muslimin, di mana sejarah mencatat bahwa kaum muslimin sepeninggal Rasulullah SAW. Setelah terbagi kepada beberapa aliran dalam bidang Teologi yang semulanya hanya dilator belakangi oleh persoalan politik, seperti : Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Masing-masing aliran berbeda pendapat dalam mengemukakan konsep mereka dalam bidang teologi, di samping disebabkan karena mamang munculnya perbedaan itu terkait langsung dengan perbedaan kecenderungan, tingkat pengetahuan dan pengalaman, juga disebabkan karena di antara dasar-dasar agama, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi memberikan peluang untuk munculnya perbedaan persepsi dalam memberikan peluang untuk munculnya perbedaan persepsi dalam memberikan interpretasi, khususnya dalam lapangan teologi seperti masalah sifat-sifat tuhan, perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan, keadilan, kehendak muthlak Tuhan, akal dan wahyu.
serupa ini tak dapat diberikan kepada Tuhan. Selanjutnya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia yang menurut faham Mu’tazilah memang ada. Lebih lanjut lagi, kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh nature atau hukum alam(sunnah Allah) yang tidak mengalami perubahan. Al jahiz mengatakan bahwa tiap-tiap benda mempunyai nature dan sifat sendiri yang mempunyai efek tertentu menurut nature masing-masing. Lebih tegas Al Khayyat menerangkan bahwa tiap benda memiliki nature tertentu dan tak dapat menghasilkan kecuali efek yang itu-itu juga; api tak dapat menghasilkan apa-apa kecuali panas, dan es tak dapat menghasilkan apa-apa kecuali dingin. Efek yang ditimbulkan tiap benda, menurut Mu’ammar seperti gerak, diam, rasa, warna, bau, panas, dingin, basah dan kering, timbul sesuai dengan nature dari masing-masing benda yang bersangkutan. Sebenarnya efek yang ditimbulkan tiap benda bukan perbuatan Tuhan. Perbuatan Tuhan hanyalah menciptakan benda-benda yang mempunyai nature tertentu. Dari tulisan-tulisan seperti di atas itu dapat ditarik kesimpulan bahwa kaum Mu’tazilah percaya pada hukum alam atau sunnah Allah yang menganut perjalanan kosmos dan dengan demikian menganut faham determinisme. Dan determinisme ini bagi mereka, sebagai kata Nadir, tidak berubah-ubah sama dengan keadaan Tuhan yang juga tidak berubah-ubah. Sebagai penjelasan selanjutnya bagi faham sunnah Allah yang tak berubah-ubah ini dan determinisme ini; ada baiknya dibawa di sini uraian Tafsir al-Manar. Segala sesuatu di alam ini, demikian al Manar, berjalan menurut sunnah Allah dan sunnah Allah itu dibuat Tuhan sedemikian rupa sehingga sebab dan musabab di dalamnya mempunyai hubungan yang erat. Bagi tiap sesuatu Tuhan menciptakan sunnah tertentu. Umpamanya sunnah yang mengatur hidup manusia berlainan dengan sunnah yang mengatur hidup tumbuh-tumbuhan. Bahkan juga ada sunnah yang tidak berubah-ubah untuk mencapai kemenangan. Jika seseorang mengikuti jalan yang ditentukan sunnah ini, orang akan mencapai kemenangan, tetapi jika ia menyimpang dari jalan yang ditentukan sunnah itu, ia akan mengalami kekalahan. Ada pula sunnah yang membawa pada kesenangan dan ada yang membawa pada kesusahan. Keadaan seorang mukmin atau seorang kafir tidak membawa pengaruh dalam hal ini. Sunnah tidak kenal pada pengecualian, sungguh pun pengecualian untuk Nabi-nabi. Sunnah tidak berubah-ubah dan Tuhan tidak menghendaki supaya sunnah menyalahi nature. Oleh karena itu orang sakit yang memohon pada Tuhan supaya ia diberikan kesehatan kembali, sebenarnya meminta : “Tuhanku, hentikanlah untuk kepentinganku sunnah-Mu yang Engkau katakan tidak akan berubah-ubah itu”. Jelas bahwa sunnah Allah tidak mengalami perubahan atas kehendak Tuhan sendiri dan dengan demikian merupakan batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Semua uraian tersebut di atas menunjukan bahwa dalam faham Mu’tazilah kekuasaan mutlak Tuhan mempunyai batas-batasan; dan Tuhan sendiri, sebagai kata al-Manar, tidak bersikap absolute seperti halnya Raja Absolut yang menjatuhkan hukuman menurut kehendaknya semata-mata. Keadaan Tuhan dalam faham ini, lebih dekat menyerupai keadaan Raja Konstitusional, yang kekuasaan dan kehendaknya dibatasi oleh konstitusi.”1) Perspektif Maturidiyah Ini adalah perspektif aliran Maturidiyah yang saya kutif langsung dari bukunya Prof. Dr. Harun Nasution yang berjudul Teologi Islam. “Adapun kaum Maturidi, golongan Bukhara menganut pendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Menurut al-Bazdawi, Tuhan memang berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya menurut kehendak-Nya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa-Nya, dan tidak ada larangan-larangan
terhadap Tuhan. Akan tetapi bagaimana pun juga seperti akan dijelaskan nanti, faham mereka tentang kekuasaan Tuhan tidaklah semutlak faham Asy’ ariah. Maturidiyah golongan Samarkand, tidaklah sekeras golongan Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan mutlak Tuhan. Batasan-batasan yang diberikan golongan Samarkand ialah: a. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka, ada pada manusia. b. Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya untuk berbuat baik atau berbuat jahat. c. Keadaan hukuman-hukuman Tuhan, sebagai kata al-Bayadii, tak boleh tidak mesti terjadi. Dalam pada itu kiranya ditegaskan bahwa yang menentukan batasan-batasan itu bukanlah zat selain Tuhan, karena di atas Tuhan tidak ada suatu zat pun yang lebih berkuasa. Tuhan adalah di atas segala-galanya. Batasan-batasan itu ditentukan oleh Tuhan sendiri dan dengan kemauan-Nya sendiri pula.”2) Perspektif Asy’ariyah “Kaum Asy’ariah, karena percaya pada mutlaknya kekuasaan Tuhan, mempunyai tendensi sebaliknya. Mereka menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu. Betul mereka akui bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan bagi manusia dan bahwa Tuhan mengetahui kebaikan dan keuntungan itu, tidaklah menjadi pendorong bagi Tuhan untuk berbuat. Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, al-Asy’ari menulis dalam Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapa pun; di atas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. Tuhan bersifat absolute dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Seperti kata al-Dawwani, Tuhan adalah Maha Pemilik (al-Malik) yang bersifat absolute dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya di dalam kerajaan-Nya dan tak seorang pun yang dapat mencela perbuatan-Nya. Yaitu, sungguh pun perbuatan- perbuatan itu oleh akal manusia dipandang bersifat tidak baik dan tidak adil. Dalam hubungan ini al-Baghdadi mengatakan bahwa boleh saja Tuhan melarang apa yang telah diperintahkan-Nya dan memerintahkan apa yang telah dilarang-Nya. Al-Ghazali juga mengeluarkan pendapat yang sama. Tuhan dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, dapat memberikan hukum menurut kehendak-Nya, dapat menyiksa orang yang berbuat baik jika itu dikehendaki-Nya dan dapat memberi upah kepada orang kafir jika yang demikian dikehendaki-Nya. Kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan yang digambarkan di atas dapat pula dilihat dari faham kaum Asy’ariah bahwa Tuhan dapat meletakan beban yang tak terpikul pada diri manusia, dan dari keterangan al-Asy’ari sendiri, bahwa sekiranya Tuhan mewahyukan bahwa berdusta adalah baik, maka berdusta mestilah baik bukan buruk. Bagi kaum Asy’ariah, Tuhan memang tidak terikat kepada apa pun, tidak terikat kepada janji-janji, kepada norma-norma keadilan dan sebagainya.” 3) Faham Asy’ariah mengenai doa, sunatullah, serta surga & neraka pula berkait erat dengan pemahamannya terhadap kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Yaitu, Tuhan dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, dapat memberikan hukum menurut kehendak-Nya, dapat menyiksa orang yang berbuat baik jika itu dikehendaki-Nya dan
dapat memberi upah kepada orang kafir jika yang demikian dikehendaki-Nya. Karena sifat-Nya yang mutlak dan absolute itu maka Tuhan bisa memasukan orang mukmin ke dalam neraka atau orang kafir ke dalam surga asal Ia menghendaki-Nya. Tuhan bisa melanggar hukum-hukum yang telah di buat-Nya(sunatullah) di dunia. Selanjutnya, atas dasar itu pula melalui doa segala ketentuan Tuhan dapat diubah jika Tuhan menghendaki atau mengabulkan doa yang berdoa. Kesimpulan 1. Bagi Mu’tazilah, Tuhan haruslah patuh kepada hukum-hukum yang Ia buat sendiri. Oleh karenanya terkesan Tuhan tak lagi memiliki kehendak dan kekuasaan mutlak semutlak-mutlaknya. Ini tidak terlepas dari upaya memahasucikan-Nya. 2. Sebaliknya bagi kaum Asy’ariah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tak berbatas atau tak ada yang membatasi-Nya. Oleh karenanya, Ia dapat merubah hukum yang sebelumnya Ia sudah tetapkan, asalkan Ia menghendaki-Nya. 3. Kaum Maturidi agaknya di sini mereka menempatkan fahamnya diantara Mu’tazilah dengan Asy’ariah. Menurut mereka Tuhan memiliki kehendak dan kekuasaan mutlak semutlak-mutlaknya namun Ia juga tak bisa sewenang-wenang berkehendak. 1) Harun Nasution. Teologi islam. UIP. Jakarta. 1986 2) Nasution, Op.cit 3) Nasution, Op.cit

Sabtu, 24 Desember 2011

Aqidah - Iman dan Kufur


  
Sejarah Ringkas Iman dan Kufur Perbincangan tentang iman dan kufur ini timbulnya pada masa pemerintahan AliIbn Abi Talib. Pada waktu itu terjadi pertempuran antara Saidina Ali dengan Mu’awiyyahIbn Abi Sufyan. Mu’awiyyah adalah gabenur Damaskus yang tidak setuju pemerintahanSaidina Ali. Pertempuran ini terkenal dengan peperangan Siffin (659 M.). Ketika pasukanSaidina Ali hampir memenangi pertempuran tersebut, pembantu kanan Mu’awiyyah,‘Amr Ibn Al-‘As yang terkenal sebagai orang licik, meminta berdamai denganmengangkat al-Quran ke atas. Qurra yang ada di pihak Saidina Ali mendesak Saidina Alisupaya menerima tawaran itu, dan dengan demikian dicarilah perdamaian denganmengadakan pengantara (arbitrasi). Sebagai pengantara dilantik dua orang, iaitu: ‘Amr Ibn Al-‘As di pihak Mu’awiyyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Kesimpulandari arbitrasi tersebut merugikan pihak Ali dan menguntungkan pihak Mu’awiyyah, laluMu’awiyyah dengan sendirinya dianggap menjadi khalifah tidak rasmi. Sebagian dari pengikut Ali tidak setuju dengan pengantara (arbitrasi) tersebut, dan karena itu merekameninggalkan barisan Saidina Ali. Golongan mereka inilah dalam sejarah Islam terkenaldengan nama Khawarij. Dengan demikian, gambaran dari persoalan-persoalan politik inilah akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan teologi.

Golongan Khawarij ini memandang bahawa Saidina Ali, Mu’awiyyah, ‘Amr Ibnal-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrasi itu adalah kafir,karena mereka semuanya tidak kembali menetapkan hukum kepada al-Quran seperti yangdimaksudkan oleh firman Allah dalam surah al-Maidah, 5: 44:

Artinya: “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, makamereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan la hukma illa lillah karena keempattempat pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari Islam, yaitu murtad. Mereka mesti dibunuh. Yang dipandang kafir bukan lagi hanyaorang yang melakukan dosa besar, yaitu murtakib al-kabair. Persoalannya ialah, masihkahdia mukmin ataukah dia menjadi kafir, kerana melakukan dosa besar? Dengan demikian,dari persoalan inilah menimbulkan akhirnya lahir aliran-aliran baru ilmu al-kalam disamping Khawarij. Aliran-alirannya adalah Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah danMaturidiyyah.



Konsep Iman
Para Mutakallimin secara umum merumuskan unsur-unsur iman terdiri dari al-tasdiq bi al-qalb; al-iqrar bi al-lisan; dan al-‘amal bi al-jawarih. Ada yang berpendapat  unsur ketiga dengan istilah yang lain: al-‘amal bi al-arkan yang membawa maksudmelaksanakan rukun-rukun Islam. Perbedaan dan persamaan pendapat para mutakallimindalam konsep iman nampaknya berkisar di sekitar unsur tersebut.Jika dilihat dari asal bahasa kata iman berasal dari bahasa arab yang berartimembenarkan, dan dalam bahasa Indonesia kata iman berarti percaya yaitu sebuahkepercayaan dalam hati dan membenarkan bahwa adanya Allah SWT itu benar-benar ada serta membenarkan dan mengamalkan semua yang di ajarkan oleh Nabi MuhammadSAW dan mempercayai Rasul-Rasul sebelumnya. Iman merupakan inti dasar dari sebuah peribadatan, tanpa adanya keimanan sangat mustahil seseorang dapat membenarkanadanya Tuhan.

Dalam pembahasan ilmu kalam konsep iman terbagi menjadi tiga golongan yaitu :
Iman adalah Tasdiq dalam hati atas wujud Allah dan keberadaan Nabi atau RasulAllah. Menurut konsep ini iman dan kufur semata-mata adalah urusan hati, bukan Nampak dari luar. Jika seseorang membenarkan atau meyakini adanya Allah maka iadapat disebut teklah beriman kepada Allah meskipun perbuatannya tidak sesuai denganajaran agama islam. Konsep iman ini banyak dianut oleh mazhab murjiah yang sebagian besar penganutnya adalah Jahamiyah dan sebagian kecil Asy’ariyah.Menurut paham diatas bahwa keimanan seseorang tidak ada sangkut pautnyadengan perbuatan atau amaliyah-amaliyah zahir, dikarenakan hati adalah sesuatu yangtersembunyi sehingga tidak dapat disangkut pautkan dengan keadaan yang zhahir.

Iman adalah Tasdiq di dalam hati dan diikrarkan dengan lidah. Dengan demikianseseorang dapat digolongkan beriman apabila mempercayai dalam hati keberadaan Allahdan mengikrarkan (mengucapkan) dengan lidah. Disini antara keimanan dan perbuatanmanusia tidak ada hubungannya. Yang terpenting dalam iman adalah Tasdiq dalam hatidan diikrarkan dengan lisan konsep ini dianut oleh sebagian pengikutMahmudiyah

Iman adalah Tasdiq dalam hati dan diikrarkan dengan lisan serta dibuktikan dengan perbuatan. Disini diterangkan bahwa antara iman dan perbuatan Terdapat keterkaitankarena keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya konsep iman inidianut oleh Mu’tazilah dan Khawarij.
Bagi Khawarij antaranya mengatakan pengertian iman itu ialah, beriktikad dalamhati dan berikrar dengan lidah serta menjauhkan diri dari segala dosa. Pengertian yangdiberikan oleh Khawarij di atas, sama dengan Mu’tazilah pada unsur yang pertama danyang kedua, tetapi berbeda pada unsur yang ketiga di dalam hal menjauhkan diri darisegala dosa, bagi Khawarij termasuk dosa kecil.Sedangkan bagi Mu’tazilah hanyamenjauhkan diri dari dosa besar saja.

Bagi Murjiah pula, menurut al-Bazdawi mayoritas mereka berpendapat bahawaiman itu hanyalah ma’rifah kepada Allah semata-mata. Sedangkan bagi Asy’ariyyah,iman ialah membenarkan dengan hati, dan itulah iktikad . Di sini terdapat persamaan antara konsep Murjiah dan Asy’ariyyah yang menekankan tugas hati bagi iman atas pengakuan. Cuma Murjiah menggunakan perkataan ma’rifah, sementara Asy’ariyyahmenggunakan al-tasdiq.Selanjutnya konsep Maturidiyyah secara umumnya sama dengan konsepAsy’ariyyah dari ahli al-sunnah wa al-jama’ah, cuma sedikit perbedaan, yaitu bagiMaturidiyyah tasdiq dengan hati mesti satu kesatuan beriqrar dengan lidah. Sedangkan bagi Asy’ariyyah hanya memadai dengan pengakuan hati untuk membuktikan keimanan,taqrir dengan lisan tidak diperlukan, kerana taqrir dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam adalah merupakan cabang dari iman.8 Pendapat Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah golongan Asy’ariyyah yang agak lebih lengkap tentang iman seperti yangdiberikan oleh al-Baghdadi yang dikutip oleh Harun Nasution, ia menerangkan bahawaada tiga bagian:
 Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka,yaitu: Mengakui Tuhan, kitab, para Rasul, qadar baik dan jahat, sifat-sifat Tuhan dansegala keyakinan lain yang diakui dalam syari’at. 
Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan melenyapkan nama fasiq dari seseorangserta yang melepaskan dari neraka, iaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhisegala dosa besar.
Iman yang menjadikan seseorang itu memperolehi prioriti untuk langsung masuk kesyurga tanpa perhitungan, iaitu mengerjakan segala yang wajib serta yang sunat danmenjauhi segala dosa.
Dari uraian di atas, dapat dibuat kesimpulan bahwa konsep iman dari aliran yanglima ini, secara umum dapat dibagi dua:
Konsep yang menerima unsur-unsur iman itu secara mantap ketiga-tiganya, yaitu, al-tasdiq bi al-qalb; al-iqrar bi al-lisan, al-‘amal bi al-jawarih atau al-‘amal bi al-arkan. 
Konsep yang menekankan kepada unsur pertama saja dari ketiga-tiga unsur tersebut.Unsur-unsur kedua dan ketiga bagi golongan ini hanya merupakan cabang-cabang sajadari iman. Pendapat yang kedua ini terdapat pada golongan yang berpendapat arti imansebagai ma’rifah dan tasdiq. Golongan ini termasuk Murjiah, Asy’ariyyah danMaturidiyyah.

Konsep Kufur
Kufur secara lughat (bahasa) kata kufur berasal dari bahasa Arab yang bermaknaingkar. Kufur dalam banyak pengertian sering diantagoniskan sebagai kedaan yang bertolak belakang dengan iman. Adapun yang dimaksud kufur dalam pembahasan iniadalah keadaan tidak percaya/tidak beriman kapada Allah SWT. Maka orang yang kufur/kafir adalah orang yang tidak percaya/tidak beriman kepada Allah baik orangtersebut bertuhan selain Allah maupun tidak bertuhan, seperti paham komunis (ateis).Kufur ialah mengingkari Tauhid, Kenabian, Ma'ad, atau ragu terhadap kejadiannya, ataumengingkari pesan dan hukum para nabi yang sudah diketahui kedatangannya dari sisiAllah SWT. Ciri dari kekufuran adalah mengingkari secara terang-terangan terhadapsuatu hukum Allah SWT yang mereka tahu tentang kebenarannya dan mereka memilikitekad untuk memerangi agama yang hak. Dari sinilah syirik (mengingkari tauhid)termasuk salah satu ciri konkret dari kekufuran. Oleh karena itu orang-orang kufur/kafir sangatlah dimurkai oleh Allah SWT karena mereka tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah. Adapun kufur/kafir sangatlah erat kaitannyaatau hubungannya dengan keadaan-keadaan yang menyesatkan seperti syirik, nifak,murtad, tidak mau bersyukur kepada Allah SWT, dan lain sebagainya. 
Para Mutakallimin selalu mengaitkan persoalan iman ini dengan kufur. Persoalan- persoalan kufur timbul dalam sejarah bermula dari tuduhan kufurnya perbuatan sahabat-sahabat yang menerima arbitrasi sebagai penyelesaian perang Siffin. Selanjutnya persoalan hukum kafir ini bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum denganal-Quran, tetapi juga orang yang melakukan dosa besar, yaitu murtakib al-kabair sehinggamelahirkan perbedaan pendapat tentang murtakib al-kabair ini, apakah masih tetapmukmin atau sudah kafir, yaitu keluar dari Islam? Bagaimanakah kedudukan mereka didunia dan di akhirat? Apakah orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam nerakaatau adakah kemungkinan keluar dari neraka dan masuk syurga? Sebelum menjawab persoalan-persoalan tersebut, perlu dinyatakan, apakah faktor yang termasuk dalam dosa besar. Ada hadist-hadist yang mengatakan bahwa dosa besar selain syirik ialah:
a. Zina 
b. Sihir 
c. Membunuh manusia tanpa sebab yang dibolehkan Allah
d. Memakan harta anak yatim piatu
e. Riba
f. Meninggalkan medan perang
g. Memfitnah perempuan yang baik-baik 

Menurut mayoritas pemuka Khawarij, berpendapat bahwa semua dosa besar adalah kufur, orang yang melakukan dosa besar itu dihukum kafir dan kekal di dalamneraka. Pendapat ini diutarakan oleh golongan cabang al-Muhakkimah yang paling awaldalam Khawarij. Khawarij cabang Azariqah pula lebih jauh ekstrim dari golongan pertama. Mereka menghukum sebagai syirik bagi orang yang melakukan dosa besar. Didalam Islam syirik lebih besar dari kufur, bahkan lebih jauh dari itu bagi golonganAzariqah menyatakan bahawa yang menjadi musyrik bukan hanya orang Islam yang melakukan dosa besar saja, tetapi juga semua orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Berlainan dengan Khawarij cabang Ibadiah, mereka tidak sependapat denganAzariqah, menurut mereka orang yang tidak masuk golongan mereka bukanlah musyrik dan bukanlah pula mukmin, paling berat ia boleh dikatakan kafir. Mereka membagikangolongan kafir ini kepada dua golongan:
a. Kafir al-Ni’mah
b. Kafir al-Millah

Nampaknya pendapat Ibadiah ini lebih sederhana dari Azariqah. Bagi Azariqah,orang yang tidak masuk golongan mereka boleh diperangi, karena bukan daerah Islamtetapi adalah dar al-harb atau dar al-kufr, darah mereka adalah halal. Yang dianggap dar al-Islam bagi mereka hanyalah orang yang termasuk wilayah atau golongan mereka saja.Menurut al-Bazdawi, konsep Khawarij mengatakan bahwa orang yang meninggal duniadalam keadaan berdosa besar dan berdosa kecil yang tidak bertaubat akan kekal dalamneraka.

Bagi kaum Murjiah secara umumnya berpendapat bahwa soal kufur dan tidak kufur adalah lebih baik ditunda saja sampai ke Hari Pengadilan Tuhan di akhirat kelak. sebabitu, kaum Murjiah tetap menganggap sahabat-sahabat yang terlibat dengan arbitraseadalah orang-orang yang dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Tetapi ada juga di kalangan cabang Murjiah yang mempersoalkan tentang soal kufur seperti Muhammad Ibn Karran. Menurutnya, orang-orang yang tidak mengucap dua kalimatsyahadat, serta orang yang mendustakan dan mengingkari adanya Allah dengan perkataan bukan dengan perbuatan adalah kafir. Argumentasi Murjiah, ialah bahwa orang Islamyang melakukan dosa besar masih mengucap dua kalimat syahadat dan Nabi Muhammadadalah Rasul-Nya, orang seperti ini masih mukmin bukan kafir atau musyrik. Dalamdunia ini ia tetap dianggap mukmin bukan kafir. Soalnya di akhirat diserahkan kepadakeputusan Tuhan, kalau dosa besar diampunkan, ia segera masuk syurga, kalau tidak akanmasuk neraka untuk waktu yang sesuai dengan dosa yang dilakukan dan kemudian masuk syurga.
Pendapat tentang kufur berikutnya, ialah dari aliran Mu’tazilah. PendapatMu’tazilah tentang murtakib al-kabair ini, ialah sebagai bukan kafir dan bukan pulamukmin. Konsep Mu’tazilah disebut manzilah bain manzilataian atau posisi antara dua posisi. Di akhirat kelak orang yang melakukan dosa besar itu tidak akan dimasukkan kedalam syurga dan tidak pula dimasukkan ke dalam neraka yang dahsyat, seperti orangkafir, tetapi dimasukkan ke dalam neraka yang paling ringan. Di dalam dunia ini, orang
 
yang melakukan dosa besar itu bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi fasiq, tidak  boleh disebut mukmin, walaupun dalam dirinya ada iman, kerana pengakuan dan ucapandua kalimat syahadatnya, dan tidak pula disebut kufur, walaupun ‘amal perbuatandianggap dosa, kerana ia tidak mempengaruhi imannya.Timbul lagi satu pertanyaan, “Siapakah yang disebut kafir oleh aliranMu’tazilah?” Menurut mayoritas Mu’tazilah, orang yang tidak patuh terhadap yang wajibdan yang sunat disebut ma’asi. Ma’asi terbahagi kepada dua, iaitu pertama, ma’asi kecildan kedua ma’asi yang besar. Ma’asi yang besar dinamakan kufur. Ma’asi yang besar, yang membawa kepada kufur ada tiga, yaitu:
  1. Seseorang yang menyamakan Allah dengan makhluk. 
  2. Seseorang yang menganggap Allah tidak adil atau zalim.
  3. Seseorang yang menolak eksistensi Nabi Muhammad yang menurut nastelah disepakati kaum muslimin.
Kalau patuh dan taat terhadap yang wajib dan sunah disebut iman, ini bukan berarti kalau tidak melakukan yang wajib dan sunah langsung menjadi kufur. MenurutHisyam al-Fathi, salah seorang pemuka Mu’tazilah, menyebut keadaan seperti itu dengancontoh tentang orang yang melaksanakan shalat dan berzakat. Menunaikan shalat danzakat disebut realisasi iman, maka orang yang melakukan keduanya disebut mukmin,tetapi kalau shalat dan zakat tidak ditunaikan, orang tersebut tidak boleh pula disebutkafir. Untuk orang yang tidak melaksanakan yang wajib seperti shalat dan zakat sertalainnya diistilahkan sebagai fasiq saja. Sedangkan pendapat Ibad Ibn Sulaiman, darikalangan pemuka Mu’tazilah juga, agak sederhana dari pendapat terdahulu, ia berpendapat iman adalah kepatuhan kepada yang wajib bukan sunah. Seseorang yang tidak beriman kepada Allah disebut kafir millah, yaitu kafir agama. Dari pendapat pemuka Mu’tazilah, dapat disimpulkan bahawa kufur adalah tidak mengucap dua kalimatsyahadat dengan iringan keyakinan penuh; dan fusuq adalah perbuatan dosa besar, sertaiman adalah pengakuan dengan hati yang dinyatakan dengan lisan dan melaksanakan perintah-perintah Allah serta menjauhi dosa besar. Menurut al-Asy’ari sendiri, iman ialah pengakuan dalam hati tentang ke-Esaan Allah dan tentang kebenaran Rasul-Rasul sertasegala apa yang mereka bawa, mengucapkannya dengan lidah dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang iman. Dengan demikian, untuk menjadi mukmin, cukupdengan pengakuan dalam hati tentang dua kalimah syahadah serta membenarkan apayang dibawa oleh Rasul. Dengan itu, tentulah yang disebut kufur ialah orang yang tidak membuat pengakuan atau membenarkan tentang ke-Esaan Tuhan dan tentang kebenaranRasul serta segala yang mereka bawa. Menurut Asy’ariyyah seorang muslim yang berdosa besar jika meninggal dunia tanpa bertaubat, nasibnya terserah kepada ketentuanTuhan, mungkin orang itu diampuni Allah karenarahmat dan kasih sayang-Nya. Adakemungkinan juga tidak akan diampuni Allah dosa-dosanya dan akan diazab sesuaidengan dosa-dosa yang dibuatnya dan kemudian baru ia dimasukkan ke dalam syurga,kerana ia tidak mungkin akan kekal tinggal dalam neraka.

Referensi:
Ahmad Muhammad, 1998. Tauhid Ilmu Kalam.
CV. Pusaka Setia Bandung
Syekh Ibnu Jabr Ar-Rummi, 2007. Mendaki Tangga Ma’rifat. Mitra press
Ahmad Amin, 1969. Zuhr al-islam. Juz IV, Lebanon


24.31 KB (docx)

Sabtu, 10 Desember 2011

Aqidah - Akal dan Wahyu

Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql, yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy, tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluh dalam 1 ayat, ta’qilun 24 ayat, na’qil 1 ayat, ya’qiluha 1 ayat dan ya’qilun 22 ayat. Kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.
Kalau kita lihat kamus-kamus Arab, akan kita jumpai kata ‘aqala berarti mengikat dan menahan. Maka tali pengikat serban, terkadang berwarna hitam dan terkadang berwarna emas, yang dipakai di Arab Saudi dan lain-lain. Disebut ‘iqal; dan menahan orang di dalam penjara disebut I’taqala dan tempat tahanan mu’taqal.
Sumber: Buku (Akal Dan Wahyu Dalam Islam hal. 5 & 6), pengarang Harun Nasution

Wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy , dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Di samping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Al-wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”. Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Sabda Tuhan itu mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidpunya baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Dalam islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad S.A.W terkumpul semuanya dalam Al-Qur’an.
Sumber: Buku (Akal Dan Wahyu Dalam Islam hal. 15), pengarang Harun Nasution

Akal dalam pandangan Islam diletakkan pada tempat yang layak, tidak meninggikannya hingga menjadi sesuatu yang dipertuhankan, tetapi juga tidak direndahkan atau dihinakan hingga penyandangnya tak ubahnya seperti hewan. Berkata Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari, Islam telah menunjukkan beberapa fenomena penghormatan terhadap akal; diantaranya dalam menegakkan dakwah kepada iman berdasarkan kepuasan akal.
Dalam hal ini Islam mengarahkan untuk berpikir dan mengamati, perhatikan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala berikut, yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS: An-Nisaa’:82)
Islam juga menantang akal manusia agar mendatangkan kitab semisal al-Qur’an. Diharapkan dengan ketidakmampuan akal manusia untuk mendatangkan kitab semisal al-Qur’an, manusia mau mengakui bahwa al-Qur’an benar-benar datang dari sisi Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Qur’an itu jika mereka orang-orang yang benar.” (QS: ath-Thuur:34)
Selain itu, akal juga diarahkan untuk memikirkan makhluk-makhluk Alloh (al-Qur’an Surah Ali Imran: 191; ar-Ruum: 8), untuk memikirkan syari’at Alloh Subhanahu wa Ta’ala (al-Baqarah: 179, 184 dan al-Jumu’ah: 9), untuk mengamati umat-umat terdahulu dan mengapa mereka durhaka (al-An’am: 6,11) dan juga diarahkan agar akal manusia mau memikirkan kejadian-kejadian alam dan kehidupan sekitarnya (al-Kahfi : 45).

Pengertian Akal

Akal dalam bahasa arab bermakna mencegah dan menahan, dan ketika akal dihubungkan dengan manusia maka bermakna orang yang mencegah dan menahan hawa nafsunya. Selain itu akal juga digunakan dengan makna pemahaman dan tadabbur. Jadi akal dari segi leksikalnya bisa bermakna menahan hawa nafsu sehingga dapat membedakan antara benar dan salah, juga bisa bermakna memahami dan bertadabbur sehingga memperoleh pengetahuan.

Akal dalam istilah mempunyai makna yang bermacam-macam dan banyak digunakan dalam kalimat majemuk, dibawah ini macam-macam akal, antara lain:
1.      Akal instink: Akal manusia di awal penciptaannya, yakni  akal ini masih bersifat potensi dalam berpikir dan berargumen.
2.      Akal teoritis: Akal yang memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang ada dan tiada (berkaitan dengan ilmu ontology), serta dalam hal tindakan dan etika mengetahui mana perbuatan yang mesti dikerjakannya dan mana yang tak pantas dilakukannya (berhubungan dengan ilmu fiqih dan akhlak).
3.      Akal praktis: Kemampuan jiwa manusia dalam bertindak, beramal dan beretika sesuai dengan ilmu dan pengetahuan teoritis yang telah dicerapnya .
4.      Akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang dikenal dan niscaya diterima oleh semua orang karena logis dan riil.
5.      Juga akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang pasti dalam membentuk premis-premis argumen dimana meliputi proposisi badihi (jelas, gamblang) dan teoritis.
6.      Akal substansi: sesuatu yang non materi dimana memiliki zat dan perbuatan.
Tentu yang kita maksudkan dalam pembahasan agama dan akal disini adalah akal yang  berfungsi dalam argumentasi dan burhan dimana didasarkan atas proposisi-proposisi yang pasti dan jelas, sehingga nantinya dapat diketahui bahwa pengetahuan-pengetahuan yang bersifat pasti dan filosofis (argumentasi filsafat) tidak memiliki kontradiksi dengan doktrin-doktrin suci agama.

Pengertian Wahyu

 Wahyu merupakan kata yang tak dapat dipisahkan dari agama-agama langit, sebab wahyu Tuhan merupakan dasar dan prinsip yang membentuk  suatu agama samawi.
Ragib Isfahani dalam menjelaskan pengertian wahyu secara literal berkata, “Akar kata wahyu bermakna isyarat cepat, oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilakukan dengan cepat disebut wahyu. Dan ini bisa berbentuk ucapan bersandi dan berkinayah, atau tidak dalam bentuk kata-kata tapi berbentuk isyarat dari bagian anggota-anggota badan atau dalam bentuk tulisan.”
Adapun wahyu menurut istilah adalah terbentuknya hubungan spiritual dan gaib pada setiap Nabi ketika mendapatkan pesan-pesan suci dari “langit”.
Wahyu bukanlah sejenis ilmu hushuli yang didapatkan lewat mengkonsepsi alam luar dengan panca indera dan akal pikiran, tetapi wahyu adalah sejenis ilmu hudhuri, bahkan wahyu merupakan tingkatan ilmu huduri yang paling tinggi. Wahyu adalah penyaksian hakikat dimana hakikat tersebut merupakan pilar dan hubungan hakiki eksistensi manusia, manusia dengan ilmu hudhuri mendapatkan hubungan eksistensi dirinya dengan Tuhan dan kalam Tuhan, sebagaimana manusia mendapatkan dirinya sendiri.

Batasan Akal dan Wahyu

 Tak dapat diragukan dan dipungkiri bahwa akal memiliki  kedudukan dalam wilayah agama, yang penting dalam hal ini menentukan dan menjelaskan batasan-batasan akal, sebab kita meyakini bahwa hampir semua kaum muslimin berupaya dan berusaha mengambil manfaat akal dalam pengajaran agama dan penjelasan keyakinan agama secara argumentatif. Para filosof Islam dalam hal ini juga  berusaha menjelaskan batasan antara akal dan syariat (hukum-hukum agama). Al-Kindi (lahir 185 H), filosof Islam pertama yang mendalami filsafat dan  terlibat dalam penerjemahan karya-karya filsafat adalah tokoh yang sangat memperhatikan masalah tersebut. Dia berupaya menerangkan kesesuaian akal dan wahyu, antara filsafat dan syariat. Menurut keyakinan dia, jika filsafat adalah ilmu yang mendalami hakikat-hakikat realitas sesuatu, maka mengingkari filsafat identik mengingkari hakikat sesuatu, yang pada akhirnya menyebabkan ketidaksempurnaan pengetahuan. Oleh sebab itu, tidak ada kontradiksi antara agama dan filsafat. Dan jika terdapat kontradiksi secara lahiriah antara wahyu dan pandangan-pandangan filsafat, maka cara pemecahannya adalah melakukan penafsiran dan ta’wil terhadap teks-teks suci agama. Metode ini dilanjutkan dan diteruskan oleh Al-Farabi.
Al-Farabi juga berpandangan bahwa agama dan filsafat sebagai dua sumber pengetahuan yang memiliki satu hakikat. Dia menafsirkan kedudukan seorang Nabi dan filosof, berdasarkan empat tingkatan akal teoritis, dimana Nabi adalah akal musthafa (akal yang paling tinggi) dan seorang filosof adalah akal fa’âl (akal aktif), jadi perbedaan nabi dan filosof sama dengan perbedaan kedua akal tersebut, akal musthafa lebih tinggi dari akal aktif. Perlu kita ketahui, dikalangan filosof Islam akal aktif tersebut ditafsirkan sebagai malaikat Jibril as atau ruhul qudus dalam agama Islam.
Ibnu Sina membagi dua filsafat yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Poin penting dalam pandangan Ibnu Sina tentang hubungan akal dan wahyu adalah pandangannya tentang dasar pembagian filsafat praktis dimana berpijak pada syariat Ilahi. Ibnu Sina berkata, ” … maka filsafat praktis dibagi menjadi (al-hikmah al –amaliyyah) yaitu  pengaturan negara (al-hikmah al-madaniyyah), pengaturan keluarga (al-hikmah al-manziliyyah), dan akhlak dan etika (al-hikmah al-khulqiyyah), ketiga bagian ini didasarkan pada syariat Tuhan dan kesempurnaan batasan-batasannya dijelaskan dengan syariat serta pengamalannya sesudah manusia memperoleh pengetahuan teoritisnya terhadap undang-undang dan rincian pengamalannya.”
Sebagaimana kita saksikan dalam perkataan Ibnu Sina tersebut bahwa dia memandang sumber dan dasar pembagian-pembagian filsafat praktis berpijak pada syariat Tuhan dan dia juga memandang bahwa batas-batas kesempurnaan pembagian tersebut ditentukan oleh syariat.
Pandangan-pandangan para filosof Islam tersebut menjelaskan tentang wilayah dan batasan akal terhadap wahyu, dimana akal menentukan dan mendefenisikan hal-hal universal yang berhubungan dengan pandangan dunia agama, dan adapun hal-hal yang bersifat terperinci dan pengamalannya ditentukan oleh agama itu sendiri. Tujuan agama dan kemestian manusia untuk beragama serta penentuan agama yang benar dibebankan pada kemampuan akal. Akal tidak memahami masalah-masalah seperti dari mana manusia datang, tujuan hakiki kehadiran dia, cara dia berterima kasih kepada Pencipta, kemana manusia setelah meninggal, dan bagaimana bertemu Tuhannya, tetapi  akal manusia memahami bahwa pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh agama (dalam pengertian khusus) dan bukan tanggung jawab serta diluar kemampuan akal pikiran manusia.
Oleh karena itu, secara umum manusia menyaksikan bahwa masalah-masalah tersebut merupakan batasan dan wilayah agama, dan hanya agama yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Secara rinci, akal tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan demikian, untuk memperoleh jawaban secara mendetail dan terperinci dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tak ada cara lain selain merujuk kepada agama dan syariat suci Tuhan.
Konklusi dari pembahasan ini adalah akal memiliki kemampuan dalam membangun argumentasi yang kokoh tentang pandangan dunia agama, tetapi akal tak mampu memahami secara partikular dan mendetail batasan dan tujuan hakiki agama. Oleh sebab itu, manusia harus merujuk kepada agama dan syariat yang diturunkan Tuhan lewat Nabi-Nya.

Kesesuaian Akal dan Wahyu (Agama) 

Jika kita berbicara tentang segala ciptaan Tuhan, maka akal dan wahyu juga merupakan dua realitas ciptaan Tuhan.
Tuhan mengutus Nabi-nabi disertai wahyu dan agama untuk memberi hidayah umat manusia. Dan Tuhan pun yang menciptakan akal manusia. Akal adalah salah satu fenomena diantara fenomena-fenomena alam yang ada. Tuhan adalah Pencipta akal dan Tuhan juga merupakan sumber syariat dan agama (wahyu). Jadi akal dan wahyu berasal dari Tuhan dan berujung pada satu hakikat yang tinggi dan suci.
Dalam teologi Islam ada konsep “kebaikan dan keburukan dalam timbangan akal” (husn wa qubh al-aql), artinya akal dapat menetapkan dan menilai berbagai perbuatan dan tindakan, serta menghukumi baik dan buruknya atau benar dan salahnya. Akal menetapkan perbuatan baik Seperti keadilan, kejujuran, balas budi, menolong orang-orang yang dalam kesulitan dan kemiskinan, dan juga menilai perbuatan buruk seperti kezaliman, menganiaya dan merampas hak dan milik orang lain. Dalam konteks ini, akal dengan tanpa bantuan wahyu dapat menunjukkan kepada manusia mana keadilan dan kezaliman, kejujuran dan kebohongan. Dalam hal ini juga syariat Tuhan menegaskan dan memberi hidayah manusia supaya tidak mengingkari keputusan akal. Oleh sebab itu, jika husn wa qubh al-aql ini dinafikan, maka syariat tidak dapat ditetapkan. Nasiruddin Thusi berkata, “Baik dan buruk dalam mizan akal (husn wa qubh al-aql) secara mutlak tertegaskan, karena keduanya berkaitan erat dalam keberadaan dan keabsahan syariat”. Artinya jika akal tidak dapat menetapkan kebaikan dan keburukan, maka syariat juga tak dapat ditetapkan, karena bohong misalnya jika menurut akal hal iut tidaklah buruk, maka manusia tidak bisa menilai perkataan jujur para Nabi-nabi as adalah baik. Manusia juga tak dapat mengetahui bahwa para Nabi dan Rasul as pasti tidak bohong. Jika manusia mengetahui dari syariat bahwa para nabi pasti berkata jujur dan kejujuran adalah sifat yang mulia, maka muncul masalah bahwa syariat yang belum diketahui apakah hasil dari perkataan jujur atau bohong, sehingga dipercayai kejujuran dan kebenarannya. Yang pasti jika baik dan buruk dalam pandangan akal dinafikan, maka sangat banyak hal dan masalah yang dipertanyakan keabsahan dan kebenarannya, hatta syariat itu sendiri.
Dari tinjauan tersebut di atas, tidak bisa  dikatakan bahwa akal dan syariat di alam realitas saling berlawanan dan kontradiksi. Para ulama ushul fiqih mazhab Syi’ah Itsna Asyariyah (dua belas imam) memiliki konsep dan pandangan dalam bentuk sebagai berikut: Tuhan adalah pencipta akal dan “pemimpin” masyarakat berakal serta Tuhan pulalah yang menganugrahkan wahyu dan agama untuk manusia, maka  tak mungkin wahyu dan agama tak sesuai dengan akal, dan jika tak ada kesesuaian maka akan terjadi inner kontradiksi dalam ilmu Tuhan. Oleh karena itu, kita meyakini bahwa tidak terdapat kontradiksi antara akal dan wahyu, dan antara rasionalitas dan agama.
Diakhir pembahasan ini, kami akan menyajikan pandangan Mulla Sadra, salah seorang filosof besar Islam dan pendiri hikmah muta’aliyah, dimana Filsafatnya mencerminkan pengaruh timbal balik akal dan wahyu. Dia berusaha semaksimal mungkin membangun filsafatnya dari kekuatan akal dan kesucian wahyu.  
Jika kita tinjau hubungan antara muatan wahyu dan proposisi akal, maka hubungan tersebut bisa dibagi menjadi tiga bagian:
1.      Muatan wahyu sesuai dengan akal
2.      Muatan wahyu lebih tinggi dari akal
3.      Muatan wahyu kontradiksi dengan akal
Menurut keyakinan Mulla Sadra, wahyu hakiki dan pesan hakiki Tuhan tidak kontradiksi dengan proposisi akal (bagian ketiga). Dalam tinjauan tersebut, dia berkata, “Maka kami bawakan dalil kuat yang berkaitan dengan topik ini, sehingga diketahui bahwa syariat dan akal memiliki kesesuaian sebagaimana dalam hikmah-hikmah lainnya, dan mustahil syariat Tuhan yang benar dan hukum-hukum-Nya berbenturan dan bertentangan dengan makrifat-makrifat akal dan argumentasi rasional, dan binasa bagi filsafat yang teori-teorinya tak sesuai dengan kitab suci Tuhan dan sunnah Nabi-Nya”. Menurut  Mulla Sadra, hukum-hukum agama yang penuh dengan cahaya suci Tuhan mustahil bertentangan dan bertolak belakang dengan pengetahuan-pengetahuan universal akal, filsafat yang benar tak mungkin teori-teorinya bertentangan dengan kitab suci Tuhan dan sunnah Nabi-Nya. Dia berkeyakinan bahwa filsafat yang benar dan hakiki adalah filsafat yang memiliki korelasi dengan  wahyu suci Tuhan. Secara prinsipil, para filosof yang perkataannya menyalahi agama bukanlah filosof hakiki. Dia berkata, “Dan barang siapa yang agamanya bukan agama yang dianut oleh para Nabi as, maka pada dasarnya dia tidak mendapatkan sedikitpun bagian dari hikmah (filsafat hakiki)”. Artinya, para filosof yang agamanya bukan agama para Nabi as, maka dia tidak mengambil manfaat sama sekali dari filsafat. Dari perkataan Mulla Sadra di atas, dapat disimpulkan bahwa  dia berusaha - dengan pandangan-pandangan argumentatif - membela gagasan kebersesuaian akal dan wahyu, filsafat dan syariat, dan menolak adanya kontradiksi diantara keduanya. 

Meski penghormatan Islam terhadap akal sedemikian besar, bukan berarti seseorang lantas semaunya mempergunakan akal, seseorang lantas diperbudak oleh akalnya sendiri. Hingga, setiap masalah dihadapi hanya oleh kekuatan akalnya. Terlebih dalam masalah yang berkaitan dengan agama. Contoh kasuistik yang telah begitu lekat dalam perjalanan sejarah Islam dalam masalah dominasi akal, adalah aliran Mu’tazilah atau Neo Mu’tazilah sebagai pewaris leluhurnya di masa sekarang. Kelompok satu ini berprinsip bahwa naql (wahyu/nash) tidak boleh bertentangan dengan akal. Oleh karena itu, setiap masalah syari’at bisa dicerna oleh akal. Dan jika ada suatu nash yang nampak (menurut mereka) bertentangan dengan akal, niscaya mereka akan mena`wilkan nash tersebut, sehingga selaras dengan akalnya. Pola pikir semacam inilah yang akhirnya menjungkir balikkan nash-nash yang telah dipahami dan diyakini oleh para salafu al-ummah dulu. Dari pola pemahaman yang demikian, lantas lahir beragam ta`wil, yang pada hakekatnya menafikan sifat-sifat Allah, nikmat dan adzab kubur, surga dan neraka, qadar Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan sebagainya.Pengikut manhaj Rosululloh dan Shohabatnya yang sholeh menjadikan akal tunduk kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dari sini maka akal yang sehat tidak mungkin bertentangan denagn naql (nash) yang shahih. Apabila terjadi pertentangan (menurut akal-red) maka nash yang shahih harus didahulukan atas akal, sebab nash-nash al-Qur’an bersifat ma’shum (terjaga) dari kesalahan, dan nash-nash sunnah bersifat ma’shum (terjaga) dari hawa nafsu. (Sedangkan akal tidak-red)
Sesuatu yang masuk akal menurut Islam adalah sesuatu yang sesuai dengan al-kitab was-sunnah, sedangkan sesuatu yang tidak masuk akal (majhul) adalah sesuatu yang menyalahi al-Qur’an  dan As Ssunnah. Petunjuk adalah sesuatu yang selaras dengan manhaj shahabat, dan tidak ada jalan lain untuk mengenali petunjuk serta pola-pola shahabat melainkan atsar-atsar ini.
Menghadapi suatu nash, khususnya yang berkenaan masalah aqidah, tanpa melalui perbincangan panjang lebar atau menggunakan akal yang dipaksakan. Tetapi cukup dengan mengimani dan membenarkannya. Memperbincangkan dengan tanpa landasan yang benar, apalagi hanya sekedar dengan akal, tak akan membawa faedah.
Demikianlah sikap yang patut menjadi teladan dalam mengimani ayat-ayat Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan hadits shahih dari Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Mudah-mudahan Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan petunjuk kepada kita semua. Dan hanya kepada Alloh-lah segala urusan dikembalikan. Wallahu ‘Alam.
68.00 KB (doc)