Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql, yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy, tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluh dalam 1 ayat, ta’qilun 24 ayat, na’qil 1 ayat, ya’qiluha 1 ayat dan ya’qilun 22 ayat. Kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.
Kalau kita lihat kamus-kamus Arab, akan kita jumpai kata ‘aqala berarti mengikat dan menahan. Maka tali pengikat serban, terkadang berwarna hitam dan terkadang berwarna emas, yang dipakai di Arab Saudi dan lain-lain. Disebut ‘iqal; dan menahan orang di dalam penjara disebut I’taqala dan tempat tahanan mu’taqal.
Sumber: Buku (Akal Dan Wahyu Dalam Islam hal. 5 & 6), pengarang Harun Nasution
Wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy , dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Di samping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Al-wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”. Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Sabda Tuhan itu mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidpunya baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Dalam islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad S.A.W terkumpul semuanya dalam Al-Qur’an.
Sumber: Buku (Akal Dan Wahyu Dalam Islam hal. 15), pengarang Harun Nasution
Akal dalam pandangan Islam diletakkan pada tempat yang layak, tidak meninggikannya hingga menjadi sesuatu yang dipertuhankan, tetapi juga tidak direndahkan atau dihinakan hingga penyandangnya tak ubahnya seperti hewan. Berkata Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari, Islam telah menunjukkan beberapa fenomena penghormatan terhadap akal; diantaranya dalam menegakkan dakwah kepada iman berdasarkan kepuasan akal.
Dalam hal ini Islam mengarahkan untuk berpikir dan mengamati, perhatikan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala berikut, yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS: An-Nisaa’:82)
Islam juga menantang akal manusia agar mendatangkan kitab semisal al-Qur’an. Diharapkan dengan ketidakmampuan akal manusia untuk mendatangkan kitab semisal al-Qur’an, manusia mau mengakui bahwa al-Qur’an benar-benar datang dari sisi Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Qur’an itu jika mereka orang-orang yang benar.” (QS: ath-Thuur:34)
Selain itu, akal juga diarahkan untuk memikirkan makhluk-makhluk Alloh (al-Qur’an Surah Ali Imran: 191; ar-Ruum: 8), untuk memikirkan syari’at Alloh Subhanahu wa Ta’ala (al-Baqarah: 179, 184 dan al-Jumu’ah: 9), untuk mengamati umat-umat terdahulu dan mengapa mereka durhaka (al-An’am: 6,11) dan juga diarahkan agar akal manusia mau memikirkan kejadian-kejadian alam dan kehidupan sekitarnya (al-Kahfi : 45).
Pengertian Akal
Akal dalam bahasa arab bermakna mencegah dan menahan, dan ketika akal dihubungkan dengan manusia maka bermakna orang yang mencegah dan menahan hawa nafsunya. Selain itu akal juga digunakan dengan makna pemahaman dan tadabbur. Jadi akal dari segi leksikalnya bisa bermakna menahan hawa nafsu sehingga dapat membedakan antara benar dan salah, juga bisa bermakna memahami dan bertadabbur sehingga memperoleh pengetahuan.
Akal dalam istilah mempunyai makna yang bermacam-macam dan banyak digunakan dalam kalimat majemuk, dibawah ini macam-macam akal, antara lain:
1. Akal instink: Akal manusia di awal penciptaannya, yakni akal ini masih bersifat potensi dalam berpikir dan berargumen.
2. Akal teoritis: Akal yang memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang ada dan tiada (berkaitan dengan ilmu ontology), serta dalam hal tindakan dan etika mengetahui mana perbuatan yang mesti dikerjakannya dan mana yang tak pantas dilakukannya (berhubungan dengan ilmu fiqih dan akhlak).
3. Akal praktis: Kemampuan jiwa manusia dalam bertindak, beramal dan beretika sesuai dengan ilmu dan pengetahuan teoritis yang telah dicerapnya .
4. Akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang dikenal dan niscaya diterima oleh semua orang karena logis dan riil.
5. Juga akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang pasti dalam membentuk premis-premis argumen dimana meliputi proposisi badihi (jelas, gamblang) dan teoritis.
6. Akal substansi: sesuatu yang non materi dimana memiliki zat dan perbuatan.
Tentu yang kita maksudkan dalam pembahasan agama dan akal disini adalah akal yang berfungsi dalam argumentasi dan burhan dimana didasarkan atas proposisi-proposisi yang pasti dan jelas, sehingga nantinya dapat diketahui bahwa pengetahuan-pengetahuan yang bersifat pasti dan filosofis (argumentasi filsafat) tidak memiliki kontradiksi dengan doktrin-doktrin suci agama.
Pengertian Wahyu
Wahyu merupakan kata yang tak dapat dipisahkan dari agama-agama langit, sebab wahyu Tuhan merupakan dasar dan prinsip yang membentuk suatu agama samawi.
Ragib Isfahani dalam menjelaskan pengertian wahyu secara literal berkata, “Akar kata wahyu bermakna isyarat cepat, oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilakukan dengan cepat disebut wahyu. Dan ini bisa berbentuk ucapan bersandi dan berkinayah, atau tidak dalam bentuk kata-kata tapi berbentuk isyarat dari bagian anggota-anggota badan atau dalam bentuk tulisan.”
Adapun wahyu menurut istilah adalah terbentuknya hubungan spiritual dan gaib pada setiap Nabi ketika mendapatkan pesan-pesan suci dari “langit”.
Wahyu bukanlah sejenis ilmu hushuli yang didapatkan lewat mengkonsepsi alam luar dengan panca indera dan akal pikiran, tetapi wahyu adalah sejenis ilmu hudhuri, bahkan wahyu merupakan tingkatan ilmu huduri yang paling tinggi. Wahyu adalah penyaksian hakikat dimana hakikat tersebut merupakan pilar dan hubungan hakiki eksistensi manusia, manusia dengan ilmu hudhuri mendapatkan hubungan eksistensi dirinya dengan Tuhan dan kalam Tuhan, sebagaimana manusia mendapatkan dirinya sendiri.
Batasan Akal dan Wahyu
Tak dapat diragukan dan dipungkiri bahwa akal memiliki kedudukan dalam wilayah agama, yang penting dalam hal ini menentukan dan menjelaskan batasan-batasan akal, sebab kita meyakini bahwa hampir semua kaum muslimin berupaya dan berusaha mengambil manfaat akal dalam pengajaran agama dan penjelasan keyakinan agama secara argumentatif. Para filosof Islam dalam hal ini juga berusaha menjelaskan batasan antara akal dan syariat (hukum-hukum agama). Al-Kindi (lahir 185 H), filosof Islam pertama yang mendalami filsafat dan terlibat dalam penerjemahan karya-karya filsafat adalah tokoh yang sangat memperhatikan masalah tersebut. Dia berupaya menerangkan kesesuaian akal dan wahyu, antara filsafat dan syariat. Menurut keyakinan dia, jika filsafat adalah ilmu yang mendalami hakikat-hakikat realitas sesuatu, maka mengingkari filsafat identik mengingkari hakikat sesuatu, yang pada akhirnya menyebabkan ketidaksempurnaan pengetahuan. Oleh sebab itu, tidak ada kontradiksi antara agama dan filsafat. Dan jika terdapat kontradiksi secara lahiriah antara wahyu dan pandangan-pandangan filsafat, maka cara pemecahannya adalah melakukan penafsiran dan ta’wil terhadap teks-teks suci agama. Metode ini dilanjutkan dan diteruskan oleh Al-Farabi.
Al-Farabi juga berpandangan bahwa agama dan filsafat sebagai dua sumber pengetahuan yang memiliki satu hakikat. Dia menafsirkan kedudukan seorang Nabi dan filosof, berdasarkan empat tingkatan akal teoritis, dimana Nabi adalah akal musthafa (akal yang paling tinggi) dan seorang filosof adalah akal fa’âl (akal aktif), jadi perbedaan nabi dan filosof sama dengan perbedaan kedua akal tersebut, akal musthafa lebih tinggi dari akal aktif. Perlu kita ketahui, dikalangan filosof Islam akal aktif tersebut ditafsirkan sebagai malaikat Jibril as atau ruhul qudus dalam agama Islam.
Ibnu Sina membagi dua filsafat yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Poin penting dalam pandangan Ibnu Sina tentang hubungan akal dan wahyu adalah pandangannya tentang dasar pembagian filsafat praktis dimana berpijak pada syariat Ilahi. Ibnu Sina berkata, ” … maka filsafat praktis dibagi menjadi (al-hikmah al –amaliyyah) yaitu pengaturan negara (al-hikmah al-madaniyyah), pengaturan keluarga (al-hikmah al-manziliyyah), dan akhlak dan etika (al-hikmah al-khulqiyyah), ketiga bagian ini didasarkan pada syariat Tuhan dan kesempurnaan batasan-batasannya dijelaskan dengan syariat serta pengamalannya sesudah manusia memperoleh pengetahuan teoritisnya terhadap undang-undang dan rincian pengamalannya.”
Sebagaimana kita saksikan dalam perkataan Ibnu Sina tersebut bahwa dia memandang sumber dan dasar pembagian-pembagian filsafat praktis berpijak pada syariat Tuhan dan dia juga memandang bahwa batas-batas kesempurnaan pembagian tersebut ditentukan oleh syariat.
Pandangan-pandangan para filosof Islam tersebut menjelaskan tentang wilayah dan batasan akal terhadap wahyu, dimana akal menentukan dan mendefenisikan hal-hal universal yang berhubungan dengan pandangan dunia agama, dan adapun hal-hal yang bersifat terperinci dan pengamalannya ditentukan oleh agama itu sendiri. Tujuan agama dan kemestian manusia untuk beragama serta penentuan agama yang benar dibebankan pada kemampuan akal. Akal tidak memahami masalah-masalah seperti dari mana manusia datang, tujuan hakiki kehadiran dia, cara dia berterima kasih kepada Pencipta, kemana manusia setelah meninggal, dan bagaimana bertemu Tuhannya, tetapi akal manusia memahami bahwa pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh agama (dalam pengertian khusus) dan bukan tanggung jawab serta diluar kemampuan akal pikiran manusia.
Oleh karena itu, secara umum manusia menyaksikan bahwa masalah-masalah tersebut merupakan batasan dan wilayah agama, dan hanya agama yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Secara rinci, akal tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan demikian, untuk memperoleh jawaban secara mendetail dan terperinci dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tak ada cara lain selain merujuk kepada agama dan syariat suci Tuhan.
Konklusi dari pembahasan ini adalah akal memiliki kemampuan dalam membangun argumentasi yang kokoh tentang pandangan dunia agama, tetapi akal tak mampu memahami secara partikular dan mendetail batasan dan tujuan hakiki agama. Oleh sebab itu, manusia harus merujuk kepada agama dan syariat yang diturunkan Tuhan lewat Nabi-Nya.
Kesesuaian Akal dan Wahyu (Agama)
Jika kita berbicara tentang segala ciptaan Tuhan, maka akal dan wahyu juga merupakan dua realitas ciptaan Tuhan.
Tuhan mengutus Nabi-nabi disertai wahyu dan agama untuk memberi hidayah umat manusia. Dan Tuhan pun yang menciptakan akal manusia. Akal adalah salah satu fenomena diantara fenomena-fenomena alam yang ada. Tuhan adalah Pencipta akal dan Tuhan juga merupakan sumber syariat dan agama (wahyu). Jadi akal dan wahyu berasal dari Tuhan dan berujung pada satu hakikat yang tinggi dan suci.
Dalam teologi Islam ada konsep “kebaikan dan keburukan dalam timbangan akal” (husn wa qubh al-aql), artinya akal dapat menetapkan dan menilai berbagai perbuatan dan tindakan, serta menghukumi baik dan buruknya atau benar dan salahnya. Akal menetapkan perbuatan baik Seperti keadilan, kejujuran, balas budi, menolong orang-orang yang dalam kesulitan dan kemiskinan, dan juga menilai perbuatan buruk seperti kezaliman, menganiaya dan merampas hak dan milik orang lain. Dalam konteks ini, akal dengan tanpa bantuan wahyu dapat menunjukkan kepada manusia mana keadilan dan kezaliman, kejujuran dan kebohongan. Dalam hal ini juga syariat Tuhan menegaskan dan memberi hidayah manusia supaya tidak mengingkari keputusan akal. Oleh sebab itu, jika husn wa qubh al-aql ini dinafikan, maka syariat tidak dapat ditetapkan. Nasiruddin Thusi berkata, “Baik dan buruk dalam mizan akal (husn wa qubh al-aql) secara mutlak tertegaskan, karena keduanya berkaitan erat dalam keberadaan dan keabsahan syariat”. Artinya jika akal tidak dapat menetapkan kebaikan dan keburukan, maka syariat juga tak dapat ditetapkan, karena bohong misalnya jika menurut akal hal iut tidaklah buruk, maka manusia tidak bisa menilai perkataan jujur para Nabi-nabi as adalah baik. Manusia juga tak dapat mengetahui bahwa para Nabi dan Rasul as pasti tidak bohong. Jika manusia mengetahui dari syariat bahwa para nabi pasti berkata jujur dan kejujuran adalah sifat yang mulia, maka muncul masalah bahwa syariat yang belum diketahui apakah hasil dari perkataan jujur atau bohong, sehingga dipercayai kejujuran dan kebenarannya. Yang pasti jika baik dan buruk dalam pandangan akal dinafikan, maka sangat banyak hal dan masalah yang dipertanyakan keabsahan dan kebenarannya, hatta syariat itu sendiri.
Dari tinjauan tersebut di atas, tidak bisa dikatakan bahwa akal dan syariat di alam realitas saling berlawanan dan kontradiksi. Para ulama ushul fiqih mazhab Syi’ah Itsna Asyariyah (dua belas imam) memiliki konsep dan pandangan dalam bentuk sebagai berikut: Tuhan adalah pencipta akal dan “pemimpin” masyarakat berakal serta Tuhan pulalah yang menganugrahkan wahyu dan agama untuk manusia, maka tak mungkin wahyu dan agama tak sesuai dengan akal, dan jika tak ada kesesuaian maka akan terjadi inner kontradiksi dalam ilmu Tuhan. Oleh karena itu, kita meyakini bahwa tidak terdapat kontradiksi antara akal dan wahyu, dan antara rasionalitas dan agama.
Diakhir pembahasan ini, kami akan menyajikan pandangan Mulla Sadra, salah seorang filosof besar Islam dan pendiri hikmah muta’aliyah, dimana Filsafatnya mencerminkan pengaruh timbal balik akal dan wahyu. Dia berusaha semaksimal mungkin membangun filsafatnya dari kekuatan akal dan kesucian wahyu.
Jika kita tinjau hubungan antara muatan wahyu dan proposisi akal, maka hubungan tersebut bisa dibagi menjadi tiga bagian:
1. Muatan wahyu sesuai dengan akal
2. Muatan wahyu lebih tinggi dari akal
3. Muatan wahyu kontradiksi dengan akal
Menurut keyakinan Mulla Sadra, wahyu hakiki dan pesan hakiki Tuhan tidak kontradiksi dengan proposisi akal (bagian ketiga). Dalam tinjauan tersebut, dia berkata, “Maka kami bawakan dalil kuat yang berkaitan dengan topik ini, sehingga diketahui bahwa syariat dan akal memiliki kesesuaian sebagaimana dalam hikmah-hikmah lainnya, dan mustahil syariat Tuhan yang benar dan hukum-hukum-Nya berbenturan dan bertentangan dengan makrifat-makrifat akal dan argumentasi rasional, dan binasa bagi filsafat yang teori-teorinya tak sesuai dengan kitab suci Tuhan dan sunnah Nabi-Nya”. Menurut Mulla Sadra, hukum-hukum agama yang penuh dengan cahaya suci Tuhan mustahil bertentangan dan bertolak belakang dengan pengetahuan-pengetahuan universal akal, filsafat yang benar tak mungkin teori-teorinya bertentangan dengan kitab suci Tuhan dan sunnah Nabi-Nya. Dia berkeyakinan bahwa filsafat yang benar dan hakiki adalah filsafat yang memiliki korelasi dengan wahyu suci Tuhan. Secara prinsipil, para filosof yang perkataannya menyalahi agama bukanlah filosof hakiki. Dia berkata, “Dan barang siapa yang agamanya bukan agama yang dianut oleh para Nabi as, maka pada dasarnya dia tidak mendapatkan sedikitpun bagian dari hikmah (filsafat hakiki)”. Artinya, para filosof yang agamanya bukan agama para Nabi as, maka dia tidak mengambil manfaat sama sekali dari filsafat. Dari perkataan Mulla Sadra di atas, dapat disimpulkan bahwa dia berusaha - dengan pandangan-pandangan argumentatif - membela gagasan kebersesuaian akal dan wahyu, filsafat dan syariat, dan menolak adanya kontradiksi diantara keduanya.
Meski penghormatan Islam terhadap akal sedemikian besar, bukan berarti seseorang lantas semaunya mempergunakan akal, seseorang lantas diperbudak oleh akalnya sendiri. Hingga, setiap masalah dihadapi hanya oleh kekuatan akalnya. Terlebih dalam masalah yang berkaitan dengan agama. Contoh kasuistik yang telah begitu lekat dalam perjalanan sejarah Islam dalam masalah dominasi akal, adalah aliran Mu’tazilah atau Neo Mu’tazilah sebagai pewaris leluhurnya di masa sekarang. Kelompok satu ini berprinsip bahwa naql (wahyu/nash) tidak boleh bertentangan dengan akal. Oleh karena itu, setiap masalah syari’at bisa dicerna oleh akal. Dan jika ada suatu nash yang nampak (menurut mereka) bertentangan dengan akal, niscaya mereka akan mena`wilkan nash tersebut, sehingga selaras dengan akalnya. Pola pikir semacam inilah yang akhirnya menjungkir balikkan nash-nash yang telah dipahami dan diyakini oleh para salafu al-ummah dulu. Dari pola pemahaman yang demikian, lantas lahir beragam ta`wil, yang pada hakekatnya menafikan sifat-sifat Allah, nikmat dan adzab kubur, surga dan neraka, qadar Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan sebagainya.Pengikut manhaj Rosululloh dan Shohabatnya yang sholeh menjadikan akal tunduk kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dari sini maka akal yang sehat tidak mungkin bertentangan denagn naql (nash) yang shahih. Apabila terjadi pertentangan (menurut akal-red) maka nash yang shahih harus didahulukan atas akal, sebab nash-nash al-Qur’an bersifat ma’shum (terjaga) dari kesalahan, dan nash-nash sunnah bersifat ma’shum (terjaga) dari hawa nafsu. (Sedangkan akal tidak-red)
Sesuatu yang masuk akal menurut Islam adalah sesuatu yang sesuai dengan al-kitab was-sunnah, sedangkan sesuatu yang tidak masuk akal (majhul) adalah sesuatu yang menyalahi al-Qur’an dan As Ssunnah. Petunjuk adalah sesuatu yang selaras dengan manhaj shahabat, dan tidak ada jalan lain untuk mengenali petunjuk serta pola-pola shahabat melainkan atsar-atsar ini.
Menghadapi suatu nash, khususnya yang berkenaan masalah aqidah, tanpa melalui perbincangan panjang lebar atau menggunakan akal yang dipaksakan. Tetapi cukup dengan mengimani dan membenarkannya. Memperbincangkan dengan tanpa landasan yang benar, apalagi hanya sekedar dengan akal, tak akan membawa faedah.
Demikianlah sikap yang patut menjadi teladan dalam mengimani ayat-ayat Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan hadits shahih dari Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Mudah-mudahan Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan petunjuk kepada kita semua. Dan hanya kepada Alloh-lah segala urusan dikembalikan. Wallahu ‘Alam.