Perkataan Tauhid berasal dari Bahasa Arab, masdar dari kata Wahhada-Yuwahhidu. Secara Etimologis, tauhid berarti Keesaan. Maksudnya, ittikad atau keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa, Tunggal; Satu. Pengertian ini sejalan dengan pengertian Tauhid yang digunakan dalam Bahasa Indonesia, yakni “ Keesaan Allah “ Mentauhidkan berarti mengakui keesaan Allah ; Mengesakan Allah.
Husain Affandi al-Jasr mengatakan :
“Ilmu Tauhid adalah ilmu yang membahas hal-hal yang menetapkan akidah agama dengan dalil-dalil yang meyakinkan“.
Dengan redaksi yang berbeda dan sisi pandang yang lain, Ibnu Khaldun mengatakan bahawa Ilmu Tauhid adalah :
“Ilmu yang berisi alasan-alasan dari aqidah keimanan dengan dalil-dalil Aqliyah dan berisi pula alasan-alasan bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng Aqidah Salaf dan Ahli Sunnah“.
Tauhid artinya mengetahui atau mengenal Allah ta’ala, mengetahui dan meyakini bahwa Allah itu tunggal dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Sejarah menunjukkan, bahwa pengertian manusia terhadap tauhid itu sudah tua sekali, yaitu sejak diutusnya nabi Adam kepada anak cucunya. Sudah diketahui bahwa nabi Adam adalah nenek moyang manusia pertama. Setelah ia beranak cucu yang banyak, ia ditugaskan Allah menjadi nabi kepada sekalian anak cucunya itu. Adam mengajarkan tauhid kepada anak cucunya. Merekapun taat dan tunduk kepada ajaran Adam yang meng-Esakan Allah SWT. Tegasnya sejak permulaan manusia mendiami bumi ini, sejak itu telah diketahui dan diyakini adanya dan Esanya Allah pencipta alam. Hal ini (adanya tauhid sejak zaman Nabi Adam)
Seperti firman Allah dalam surat Al Anbiya’ ayat 25 yang Artinya:
“Dan tidaklah kami mengutus sebelum engkau seseorang rosul pun melainkan kami wahyukan kepadanya: bahwasanya tiada tuhan yang sebenarnya disembah melainkan Aku, maka sembahlah Daku.”
Lahirnya ilmu tauhidApa yang melatar belakangi keberadaan tauhid sebagai ilmu yang berdiri sendiri ? Sebenarnya banyak sekali factor yang mendorong kehadiran tauhid sebagai ilmu. Namunjika dikaji secara keseluruhan, ia dapat dikelompokkan kepada 2 faktor yaitu intern dan ekstern. Berikut ini ringkasan dari uraian Ahmad Amin dalam bukunya Dhuha Al-Islam mengenai kedua factor tersebut.
1. Faktor Intern
Yang dimaksud dengan faktor intern adalah faktor yang berasal dari islam sendiri. Faktor-faktor tersebut adalah :
- al-Qur’an disamping berisi masalah ketauhidan, kenabian. Dan lain-lain berisi pula semacam apologi dan polemic, terutama terhadap agama-agama yang ada pada waktu itu, misalnya : Surat al-Maidah ayat 116 berisi penolakan terhadap ketuhanan Nabi Isa.
- Pada periode pertama masalah keimanan tidak dipersoalkan secara mendalam. Setelah Nabi wafat dan Ummat islam bersentuhan dengan kebudayaan dan peradaban asing, mereka mulai mengenal Filsafat, merekapun menfilsafati al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang secara lahir nampak satu sama lain tidak sejalan, bahkan kelihatan bertentangan. Hal tersebut perlu dipecahkan sebaik mungkin, dan untuk memecahkannya perlu sutu ilmu tersendiri.
- Masalah politik, terutama yang berkenaan dengan khalifah, menjadi factor pula dalam kelahiran ilmu tauhid.
2. Faktor Ekstern
Yang dimaksud dengan faktor ekstern ialah factor yang datang dari luar islam. Faktor tersebut antara lain ialah pola piker ajaran agama lain yang dibawa oleh orang tertentu, termasuk Umat Islam yang dahulunya menganut agama lain ke dalam ajaran islam.
Masa Rasulullah dan KhulafaurasyidinPada masa Rasulullah adalah masa menyusun peraturan, menetapkan pokok-pokok akidah, menyatukan umat Islam dan membangun kedaulatan Islam. Di masa ini umat Islam menyerahkan semuanya kepada Rasul untuk mengetahui dasar-dasar agama dan hukum-hukum syari’ah. Mereka diberi petunjuk wahyu dan Al-Qur’an.
Rasulullah menjauhkan umatnya dari segala hal yang menimbulkan perpecahan. Jika ada perselisihan pendapat, maka diadakan pertukaran pikiran yang dilakukan dengan sistem yang menghasilkan maksud (musyawarah). Rasul melarang umatnya berselisih paham, karena akan menyebabkan tercerai berai dalam agama yang kemudian timbul pertengkaran-pertengkaran yang membuat mereka terpecah-pecah menjadi golongan-golongan. Oleh karena itu, para mukmin harus menaati Allah dan Rasul-Nya.
Rasul juga menyuruh para sahabat untuk bersikap imbang terhadap ahlul kitab dengan tidak membenarkan apa yang mereka berikan dan tidak pula membantah mereka.
Di masa ini, ajaran ketauhidan yang ditegaskan dan dijelaskan oleh Rasul dari Al-Qur’an melalui hadisnya. Oleh karena itu pada masa ini ajaran keagamaan bersifat jelas dan nyata.
Setelah Rasul wafat, selanjutnya kepemimpinan diserahkan kepada Khulafaurasyidin. Saat pemerintahan khalifah I dan II yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab, mereka tidak sempat membahas dasar-dasar akidah karena pada masa itu mereka sibuk untuk menghadapi musuh dan berusaha mempertahankan kesatuan dan persatuan umat Islam. Saat mereka membaca dan memahami Al-Qur’an, mereka tidak mencari takwil atas ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka baca. Mereka hanya mengikuti perintah Allah dalam Al-qur’an dan menjauhi larangannya. Mereka hanya mensifatkan Allah dengan apa yang telah Allah sifatkan sendiri. Oleh karena itu, pada masa ini tidak terjadi perkembangan dalam bidang akidah.
Saat masa khalifah Usman bin Affan terjadi kekacauan politik, Usman difitnah oleh Abdullah bin Saba’, kemudian kekacauan ini diakhiri dengan terbunuhnya Usman. Pada masa ini, umat Islam terpecah-pecah dalam beberapa golongan. Dari tiap golongan-golongan itu, mereka berusaha mempertahankan pendiriannya. Mulai dari sinilah terbukalah pintu takwil bagi nash-nash Al-Qur’an dan hadis. Akhirnya terjadilah pembuatan riwayat-riwayat palsu. Sehingga, pada masa ini akidah mulai berkembang luas.
Masa Bani Umayyah dan Bani AbbasiyahKini terbuka masa untuk memikirkan hukum-hukum agama dan dasar-dasar akidah. Pada masa ini banyak pemeluk agama lain yang pindah masuk Islam. Namun, jiwa kepercayaan terhadap agama yang dulu masih melekat dalam benak mereka, sehingga lahirlah kebebasan berbicara tentang masalah-masalah keagamaan yang belum pernah dibahas oleh para ulama salaf dan membuat Islam bersentuhan dengan budaya luar.
Dari ulama-ulama salaf, terdapat segolongan ulama yang merupakan tokoh-tokoh qadariyah yang pertama, seperti: Ma’bad al Juhani, Ghailan ad Dimasyqi dan Ja’ad bin Dirham. Mereka mulai membahas masalah qadr dan masalah istitha’ah.
Para sahabat yang semasa dengan mereka seperti Abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abdullah, Anas ibn Malik, Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan teman-temannya menyalahkan golongan qadariyah dan menganjurkan masyarakat untuk menjauhi mereka.
Dan pada masa ini juga muncul golongan yang meniadakan qudrat dan iradat dari manusia, agar Allah tidak mempunyai sekutu dalam perbuatan-Nya dan meniadakan sifat-sifat Allah. Oleh karena itu, mereka dinamakan Mu’aththilah. Mereka juga dinamakan Jabriyah atau Mujbarah berkaitan dengan akidah yang mereka anut. Mereka pun juga dinamakan Jahmiyah, yakni pengikut-pengikut Jaham ibn Shafwan.
Di penghujung abad pertama Hijrah, ada juga golongan yang mengkafirkan orang-orang yang mengerjakan dosa besar. Golongan ini terkenal sebagai golongan Khawarij.
Al Hasan Al Bisri mengemukakan pendapat bahwa orang yang mengerjakan dosa besar dipandang fasiq, namun tidak keluar dari Islam. Pendapat Al Hasan ini dibantah keras oleh muridnya Washil ibn Atha’. Dia mengatakan bahwa orang yang mengerjakan dosa besar berada di antara dua martabat. Dan pendapatnya ini diikuti oleh Amar ibn Ubaid. Karena pendapat inilah, kemudian Washil ibn Atha’ dan Amar ibn Ubaid mengasingkan diri yang kemudian dinamakan golongan Mu’tazilah.
Kemudian dari golongan Qadariyah dan Jahmiyah melebur ke dalam kelompok lain. Hal ini dikarenakan golongan Qadariah dan Jahmiyah tidak dapat berdiri sebagai golongan. Maka Qadriyah itu pun berpindah kepada Mu’tazilah.
Golongan Qadariyah ini menyebut dirinya dengan Ahlul ’ad-li wat Tauhid dikarenakan mereka menetapkan bahwa hamba ini mempunyai qudrat, bebas aktif dalam segala tindakannya, yang karenanya mereka dipahalai dan disiksa. Mereka juga meniadakan kezaliman bagi Allah. Mereka juga menamakan dirinya dengan Ahlut Tauhid, karena mereka meniadakan sifat dari Allah, agar zat Allah benar-benar Esa.
Di akhir masa, Washil ibn Atha’ telah menyusun dasar-dasar ilmiah bagi mazhab Mu’tazilah. Dia pun juga mengajak masyarakat untuk mengembangkan pahamnya. Menurut uraian Al-Maqrizi, Washil ibn Atha’ telah menyusun sebuah kitab yang dinamakan Kitabul Manzilati Bainal Manzilataini dan kitab Al Futuya.
Dengan demikian pada masa inilah mulai timbul usaha menyusun kitab pegangan dalam Ilmu Kalam.
Dalam masa Bani Abbas, hubungan antara bangsa Arab dengan bangsa Ajam semakin erat, kemudian berkembanglah ilmu dan kebudayaan. Perkembangan ilmu dalam masa ini adalah usaha menterjemahkan kitab-kitab filsafat dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab.
Para penguasa Bani Abbas mempergunakan orang-orang Persia yang telah memeluk agama Islam, orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani untuk menjadi pegawai dalam pemerintahannya, untuk menterjemahkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa mereka ke dalam bahasa Arab.
Para penterjemah berusaha mengembangkan pendapat mereka tentang agama ke dalam masyarakat muslimin. Ada sebagian dari penterjemah yang berniat buruk dengan berpura-pura masuk Islam dan mengembangkan falsafah untuk kepentingan mereka. Karena itu, kemudian Islam menjadi terpecah-pecah ke dalam partai-partai.
Pada golongan Mu’tazilah, mereka tidak dapat mempertahankan agama tanpa menggunakan falsafah Yunani. Mereka pun juga tidak menerima pendapat dari golongan lain.
Sejak masa ini berkembanglah gerakan yang menggunakan falsafah untuk menetapkan akidah-akidah Islamiyah dan Ilmu Kalam, yang kemudian mulailah Ilmu Kalam dituang dalam tulisan.
Amr ibn Ubaid al Mu’tazil menyusun sebuah kitab dan menolak paham Qadariah. Sedangkan Hisyam Ibnu Al Hakam Asy Syafi’i menyusun sebuah kitab menolak paham Mu’tazilah. Dan Abu Hanifah menyusun sebuah kitab bernama Al Alim wal Muta’alim dan kitab Al Fiqhul Akbar untuk mempertahankan akidah ahlus sunnah.
Dalam masa ini, golongan Mu’tazilah mengembangkan dakwah dari dasar-dasar yang telah digariskan Washil ibn Atha’. Banyak pemuka-pemuka masyarakat mengikuti paham mereka dikarenakan mereka memiliki daya akal dan kecerdasan serta mahir dalam menguraikan dalil-dalil. Pemuka-pemuka tersebut adalah Al Ma’mun, Al Mu’tashim dan Al Watsiq.
Saat masa Bani Abbas, golongan Mu’tazilah memperoleh kedudukan yang baik, mereka tidak lagi mendapat tekanan seperti saat Bani Umayyah. Sehingga mereka dapat dengan leluasa mengembangkan paham mereka.
Saat pemerintahan Al Ma’mun sering terjadi perdebatan antar ulama-ulama kalam. Dia memberi kesempatan bagi tokoh-tokoh Mu’tazilah. Akan tetapi perdebatan tentang adanya sifat bagi Allah berhenti pada saat lahir partai-partai Musyabbihat, yaitu dengan lahirnya Muhammad ibn Karram. Dia adalah pemimpin golongan Karramiyah yang menetapkan adanya sifat bagi Allah dan menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk. Sedangkan Al Ma’mun sendiri adalah penganut Mu’tazilah dan ia memaksa masyarakat untuk menganut pendapat itu, dan dia menyiksa orang-orang yang tidak mau menerima pendapat itu, sehingga dalam peristiwa ini banyak orang yang tersiksa dan terbunuh.
Tindakan Al Ma’mun dalam membantu Mu’tazilah dengan kekerasan menyebabkan masyarakat menjauhkan diri dari golongan Mu’tazilah. Kian hari pengaruh Mu’tazilah pun kian redup dan lemah.
Kemudian pada saat itu, munculah Abu Hasan Al Asy’ari yaitu murid utama dari abu Ali Muhammad ibn Abdul Wahab Al Jubba’i Al Mu’tazili. Saat itu abu Hasan membantah pendapat gurunya dan dia membela mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Abu Hasan mengambil jalan tengah antara mazhab salaf dan mazhab penentangnya. Dia mengumpulkan dalil-dalil aqli dan naqli untuk menolak paham Mu’tazilah. Usaha Abu Hasan ini mendapat dukungan dari Abu Mansur Al Maturidi. Maka paham Mu’tazilah yang menganut mazhab i’tizal pun berangsur-angsur lenyap dari anutan masyarakat.
Kemudian para pengikut Abu Hasan Al Asy’ari meneruskan teori yang telah digariskan oleh Al Asy’ari, yaitu dengan mengumpulkan dalil aqli dan naqli. Al Asy’ari juga memandang dalil-dalil yang dibuat untuk muqaddamah aqliyah seperti teori Juhari dan Aradhl, merupakan bagian dari iman. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa batalnya dalil, berarti batalnya mad-lul. Inilah jalan yang kemudian ditempuh oleh mutaqaddimin Asy’ariyah seperti Abu Bakar Al Baqillani, Al Isfarayini, dan Imamul Haramain Al Juwaini.
Lalu datang kelompok pengikut Asy’ari yang mendalami ilmu mantiq, kemudian mereka menetapkan bahwa batalnya dalil belum tentu batalnya mad-lul, karena mad-lul tersebut mungkin ditetapkan dengan dalil lain. Inilah jalan yang ditempuh oleh muta-akhirin seperti Al Ghazzali dan Ar Razi.
Sedang Ibnu Rusyd dalam kedua kitabnya Fashul Maqal dan Al Kasyfu’an Manahijil Adillah telah mengkritik jalan yang ditempuh oleh para mutakalimin dalam cara mereka mengambil dalil dan memalsukan muqaddamah-muqaddamah yang berdasar ilmu falsafah yang dipegang Al Asy’ariyah. Ia mengemukakan bahwa muqaddamah-muqaddamah itu berada di atas kemampuan akal orang umum dan tidak menyampaikan kepada yang dimaksudkan, serta menjauh dari jalan yang telah digariskan Al-Qur’an. Dan dia berusaha mempertemukan syari’at dan hikmat (falsafah). Dia pun juga menghendaki untuk mengambil dalil untuk menetapkan akidah-akidah Islamiyah tanpa terlalu menggunakan falsafah serta menghendaki agar mengikuti jalan yang digariskan Al-Qur’an yang sesuai dengan fitrah manusia.
Masa Pasca Bani Abbas sampai sekarangSetelah masa Bani Abbas, munculah pengikut Al Asy’ari yang terlalu jauh menceburkan dirinya dalam falsafah dan Mantiq, kemudian mereka mencampur adukkan ke dalam ilmu kalam sebagaimana yang dilakukan oleh Baidlawi dalam kitabnya Ath Thawali dan Abuddin Al Ijy dalam kitab Al Mawaqif.
Mazhab Al Asy’ari ini kemudian berkembang pesat merata ke seluruh pelosok hingga tidak ada mazhab yang menyalahinya selain mazhab Hanbaliyah yang tetap bertahan dengan mazhab salaf, yaitu beriman sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Al Hadis tanpa mentakwilkan ayat-ayat ataupun hadis-hadis tersebut.
Saat permulaan abad ke-8 H lahirlah di Damaskus terdapat seorang ulama besar yaitu Taqiyuddin Ibnu Taimiyah yang menentang pihak-pihak yang mencampuradukkan falsafah dengan kalam. Ibnu Taimiyah membela mazhab salaf dan membantah pendirian-pendirian golongan Al Asy’ariyah. Oleh karenanya, pada saat itu masyarakat Islam terbagi menjadi 2 golongan yaitu pro dan kontra terhadap Ibnu Taimiyah.
Kemudian jalan yang ditempuh Ibnu Taimiyah diteruskan oleh seorang muridnya yaitu Ibnu Qayyimi Jauziyah.
Setelah masa-masa ini berlalu, kemauan dan daya kreatif untuk mempelajari ilmu Kalam mulai surut. Hanya tinggal para penulis yang memperkatakan makna-makna lafadz dan ibarat-ibarat dalam kitab peninggalan lama.
Gerakan Al Imam Muhammad Abduh dan gurunya Jamaluddin Al Afghani yaitu gerakan yang telah membangun kembali ilmu-ilmu agama yang kemudian dilanjutkan oleh As Said Rasyid Ridhla. Kemudian timbulah jiwa baru yang cenderung untu mempelajari kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan muridnya. Anggota-anggota gerakan inilah yang dinamakan Salafiyyin.
Sumber: http://romipermadi.blogspot.com/2011/04/pertumbuhan-dan-perkembangan-ilmu.html & Buku (Sejarah & Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, pengarang Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999)
0 comments:
Posting Komentar