This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 08 November 2011

Aqidah - Aliran-Aliran Dalam Ilmu Aqidah

Kemunculan I’tiqad Ahlussunah merupakan jawaban terhadap gejolak yang tumbuh dari berbagai paham keagamaan, antara lain paham Mu’tazilah yang mendapat dukungan dari tiga khalifah Abbasiyah pada abad ke-3 H. yaitu al-Makmun bin Harun al-Rasyid (198-218 H/813-833 M). Al-Muktashim (218-227 H/833-842 M). dan Al-Watsiq (227-232 H/842-847 M). Pada pemerintahan al-Makmun paham ini dijadikan paham resmi negara. Karena paham Mu’tazilah telah menjadi paham resmi negara, maka kaum Mu’tazilah mulai menyebarkan ajarannya dengan cara paksa, hal ini sampai berlanjut pada pemaksaan paham aliran melalui jalur kekuasaan.
Setelah Al-Makmun meninggal dunia pada tahun 833 M. Paham aliran Mu’tazilah ini menjadi surut, kemudian pemerintahan Abasyiah dipimpin oleh al-Mutawakil. Pada pemerintahan al-Mutawakil paham Mu’tazilah mulai tidak berlaku.
Orang-orang Mu’tazilah ini pada mulanya adalah kaum Syiah yang patah semangat, karena menyerahnya khalifah Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada khalifah Muawiyah dari Bani Umayah pada tahun 40 H.
Paham Mu’tazilah yang biasa dikenal sebagai paham rasional dan liberal ini (lebih mengedepankan akal dan kebebasan) biasanya dalam melahirkan fatwa, lebih memilih jalur mendahulukan akal dari pada al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam arti lain, paham ini tidak menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama secara mutlak.
Gerakan Mu’tazilah muncul di Basyrah (Irak) yang dipimpin oleh Wasil bin Atho’ (80-131 H) dan Umar bin Ubaid (w. 144 H). Pada permulaan abad ke-3 Mu’tazilah muncul di Baghdad (Irak) yang dipelopori oleh Basyar bin Muktamar. Basyar merupakan salah satu pimpinan Mu’tazilah di Basyrah yang pindah ke Baghdad.
Seperti disebutkan di atas Mu’tazilah pernah memaksakan paham alirannya. Kasus ini terjadi pada penyiksaan ulama penganut Madzab Syafi’i diantarnya, penyiksaan Syaikh Buathi, Pemenggalan leher Imam Ahmad bin Nashir al-Khuza’I; penyiksaan Imam Ahmad bin Hanbal (Pendiri Mazhab Hanbali) dipenjarakan dan dicambuk, Isa bin Dinar dipenjarakan selama 20 tahun; Imam Bukhari lari karena menghindari fitnah dan kejaran penguasa Mu’tazilah. Peristiwa tersebut tercatat dalam sejarah sebagai “Tragedi Qur’an Mahluk”.
Menghadapi tantangan yang sangat menggoncangkan sendi-sendi I’tiqad Islam, maka lahirlah dua ulama dalam bidang Ushuluddin bernama Syaih Abu Hasan Al Asy-ari (260 H/935 M) di Basyrah (Irak) dan Syaih Abu Mansur al-Maturidi (238 H/852 M.) lahir di Maturid, dekat Samarkand (Asia Tengah).
Kemudian dua tokoh inilah yang dikenal sebagai pembangun Paham Ahlussunah. Dengan ajarannya yang lebih mengedepankan dalil naqli daripada dalil aqli. Paham inilah yang kemudian merespon (mencoba meluruskan) bentuk pemahaman aliran-aliran pada waktu itu.

Problematika teologis di kalangan umat Islam baru muncul pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib (656-661M) yang ditandai dengan munculnya kelompok dari pendukung Ali yang memisahkan diri mereka karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima Tahkim dalam menyelesaikan konfliknya dengan muawiyah bin abi Sofyan, gubernur syam, pada waktu perang siffin. Kelompok ini selanjutnya dikenal dengan Kelompok Khawarij.
Lahirnya Kelompok Khawarij ini dengan berbagai pendapatnya selanjutnya, menjadi dasar kemunculan kelompok baru  yang dikenal dengan nama Murji’ah. lahirnya Aliran teologi inipun mengawali kemunculan berbagai Aliran-Aliran teologi lainnya. Dan dalam perkembangannya telah banyak melahirkan berbagai Aliran teologi yang masing-masing mempunyai latar belakang dan sejarah perkembangan yang berbeda-beda.Berikut ini akan dibahas tentang pertumbuhan dan perkembangan Aliran tersebut berikut pokok-pokok pikiran nya masing-masing.

Aliran Khawarij
  • Pengertian dan latar belakang timbulnya Aliran khawarij
Aliran Khawarij merupakan Aliran teologi tertua yang merupakn Aliran pertama yang muncul dalam teologi Islam. Menurut ibnu Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah di sepakati para jema’ah, baik ia keluar pada masa sahabat khulafaur rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik. Menurut bahasa nama khawarij ini berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali. Kelompok ini juga kadang kadang menyebut dirinya Syurah yang berarti “golongan yang mengorbankan dirinya untuk allahdi samping itu nama lain dari khawarij ini adalah Haruriyah, istilah ini berasal dari kata harura, nama suatu tempat dekat kufah, yang merupakan tempat mereka menumpahakn rasa penyesalannya kapada Ali bin abi Thalib yang mau berdamai dengan  Mu’awiyah.
Kelompok khawarij ini merupakan bagian dari kelompok pendukung Ali yang memisahkan diri, dengan beralasan ketidak setujuan mereka  terhadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima tahkim (arbitrase) dalam upaya untuk menyelesaikan persilisihan dan konfliknya dengan mu’awiyah bin abi sofyan, gubernur syam, pada waktu perang siffin.
Latar belakang ketidak setujuan mereka itu, beralasan bahwa tahkim itu merupakan penyelesaian masalah yang tidak di dasarkan pada  ajaran Al-Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia sendiri, dan orang yang tidak Memutuskan hukum dengan al-quran adalah kafir. Dengan demikian, orang yang  melakukan tahkim dan merimanya adalah kafir.
Atas dasar ini, kemudian golongan yang semula mendukung Ali ini selanjutnya berbalik  menentang dan memusuhi Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya yaitu Abu Musa Al-Asyari, Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Amr Bin Ash.Untuk itu mereka berusaha keras agar dapat membunuh ke empat tokoh ini, dan menurut fakta sejarah, hanya Ali yang berhasil terbunuh ditangan mereka.
  • Tokoh-tokoh Khawarij
Diantara tokoh-tokoh khawarij yang terpenting adalah :
1)      Abdullah bin Wahab al-Rasyidi, pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura (pimpinan Khawarij pertama)
2)      Urwah bin Hudair
3)      Mustarid bin sa’ad
4)      Hausarah al-Asadi
5)      Quraib bin Maruah
6)      Nafi’ bin al-azraq (pimpinan al-Azariqah)
7)      Abdullah bin Basyir
8)      Zubair bin Ali
9)      Qathari bin Fujaah
10)   Abd al-Rabih
11)   Abd al Karim bin ajrad
12)   Zaid bin Asfar
13)   Abdullah bin ibad
  • Sekte-sekte dan ajaran pokok Khawarij
Terpecahnya Khawarij ini menjadi beberapa sekte, mengawali dan mempercepat kehancurannya dan sehingga Aliran ini hanya tinggal dalam catatan sejarah. Sekte-Sekte tersebut adalah:
Al-Muhakkimah
Al-Azariqah
Al-Najdat
Al-baihasyiah
Al-Ajaridah
Al-Sa’Alibah
Al-Ibadiah
Al Sufriyah
Secara umum ajaran-ajaran pokok Khawarij adalah:
Orang Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh.
Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan zubair, dengan Ali bin abi tahAlib) dan para pelaku tahkim—termasuk yang menerima dan mambenarkannya – di hukum kafir;
Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat.
Khalifah tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi Khalifah apabila suda memenuhi syarat-syarat.
Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.
Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya Usman r.a dianggap telah menyeleweng,
Khalifah Ali dianggap menyelewang setelah terjadi Tahkim (Arbitrase).

Aliran Murji’ah
  • Pengertian Aliran Murji’ah
Kata murji’ah berasal dari suku kata bahasa arab “Raja’a” yang berarti “Kembali” dan yang dimaksud adalah golongan atau aliran yang berpendapat bahwa konsekuensi hukum dari perbuatan manusia bergantung pada Allah SWT.
  • Awal Munculnya Golongan Murji'ah
Golongan Murji’ah pertama kali muncul di Damaskus pada penghujung abad pertama hijriyah. Murji’ah pernah mengalami kejayaan yang cukup signifikan pada masa Daulah Ummayah, namun setelah runtuhnya Daulah Ummayah tersebut, golongan Murji’ah ikut redup dan barangsur – rangsur hilang ditelan zaman, hingga kini aliran tersebut sudah tidak terdengar lagi, namun sebagian fahamnya masih ada yang di ikuti oleh sebagian orang, sekalipun bertentangan dengan Al-qur’an dan Sunnah.
  • Ciri-ciri faham Murji'ah
  1. Rukun iman ada dua yaitu : iman kepada Allah dan Iman kepada utusan Allah. 
  2. Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman, dan bila meninggal dunia dalam keadaan berdosa tersebut ketentuan tergantung Allah di akhirat kelak. 
  3. Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apapun terhadap seseorang bila telah beriman. Dalam artian bahwa dosa sebesar apapun tidak dapat mempengaruhi keimanan seseorang dan keimanan tidak dapat pula mempengaruhi dosa. Dosa ya dosa, iman ya iman. 
  4. Perbuatan kebajikan tidak berarti apapun bila dilakukan disaat kafir. Artinya perbuatan tersebut tidak dapat menghapuskan kekafirannya dan bila telah muslim tidak juga bermanfaat, karena melakukannya sebelum masuk Islam.
Golongan murji’ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk Islam, sekalipun orang tersebut dzalim, berbuat maksiat dll, sebab mereka mempunyai keyakinan bahwa perbuatan dosa sebesar apapun tidak mempengaruhi keimanan seseorang selama orang tersebut masih muslim, kecuali bila orang tesebut telah keluar dari Islam (Murtad) maka telah berhukum kafir. Aliran Murji’ah juga menganggap bahwa orang yang lahirnya terlihat atau menampakkan kekufuran, namun bila batinnya tidak, maka orang tersebut tidak dapat dihukum kafir, sebab penilaian kafir atau tidaknya seseorang itu tidak dilihat dari segi lahirnya, namun bergantung pada batinnya. Sebab ketentuan ada pada I’tiqad seseorang dan bukan segi lahiriyahnya.

Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij . Kaum Murji’ah muncul adanya pertentangan politik dalam Islam. Dalam suasana demikian, kaum Murji’ah muncul dengan gaya dan corak tersendiri. Mereka bersikap netral, tidak berkomentar dalam praktek kafir atau tidak bagi golongan yang bertentangan. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang–orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena halnya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap mukmin dihadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kali masyahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir. Alasan Murji’ah menganggapnya tetap mukmin, sebab orang Islam yang berbuat dosa besar tetap mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad adalah rasulnya.

Dalam bidang aliran teologi mengenai dosa besar, kaum Murji’ah ini mempunyai pendapat tentang aqidah yang semacam umum dapat digolongkan kedalam pendapat yang moderat dan ektrim.

Aliran Qadariyah
  • Pengertian dan latar belakang timbulnya aliran Qadariyah
Qadariyah berakar pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan.Sedangkan sebagai suatu aliran dalam ilmu kalam, qadariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham qadariyah manusia di pandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar dan qada Tuhan.
Mazhab qadariyah muncul sekitar tahun 70 H(689 M). Ajaran-ajaran tentang Mazhab ini banyak memiliki persamaan dengan ajaran Mu’tazilah sehingga Aliran Qadariyah ini sering juga disebut dengan aliran Mu’tazilah, kesamaan keduanya terletak pada kepercayaan kedunya yang menyatakan bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan dan perbuatannya, dan tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia ini, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah SWT.
Aliran ini merupakan aliran yang suka mendahulukan akal dan pikiran dari pada prinsip ajaran Al-Qur’an dan hadits sendiri. Al-Qur’an dan Hadits mereka tafsirkan berdasarkan logika semata-mata. Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak bisa menjamin seluruh kebenaran, sebab logika itu hanya jalan pikiran yang menyerap hasil tangkapan panca indera yang serba terbatas kemampuannya. Jadi seharusnya logika dan akal pikiranlah yang harus tunduk kepada Al-Qura’n dan Hadits, bukan sebaliknya.
Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan al Dimasyqi. Kedua tokoh ini yang mempersoalkan tentang Qadar.
  • Pokok-pokok ajaran Qadariyah
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298, pokok-pokok ajaran qadariyah adalah :
Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlahmukmin, tapi fasik dan orang fasikk itu masuk neraka secara kekal.
Allah SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang menciptakannyadan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik (surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosakarena itu pula, maka Allah berhak disebut adil.
Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam ati bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan meilahat dengan zatnya sendiri.
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk.
Selanjutnya terlepas apakah paham qadariyah itu di pengaruhi oleh paham luar atau tidak, yang jelas di dalam Al-Qur’an dapat di jumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham qadariyah .
Dalam surat Al Ra’ad Ayat 11, di jelaskan
“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka   merobah keadaan diri mereka sendiri”
Dalam Surat Al-Kahfi ayat 29, allah menegaskan
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.
Dengan demikian paham qadariyah memilki dasar yang kuat dalam islam, dan tidaklah beralasan jika ada sebagian orang menilai paham ini sesat atau kelaur dari islam
Aliran Jabariyah
1. Pengerian, dan latar belakang Kemunculan jabariyah
Nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebutkepada Allah. Dan dalam bahasa inggris disebut dengan fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia di tentukan sejak semula oleh qada dan qadar tuhan.
Menurut catatan sejarah, paham jabariyah ini di duga telah ada sejak sebalum agama Islam datangke masyarakat arab. Kehidupan bangsa arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar terhadap hidup mereka, dengan keadaan yang sangat tidak bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian mendasari mereka untuk tidak bisa berbuat apa-apa, dan menyebankan mereka semata-mata tunduk dan patuh kepada kehendak tuhan.
Munculnya mazhab ini berkaitan dengan munculnya Qadariyah. Daerah kelahirannya pun berdekatan. Qadariyah muncul di irak, jabariyah di khurasan. Aliran ini pada mulanya di pelopori oleh al-ja’ad bin dirham. Namun, dalam perkembangannya. Aliran ini di sebarluaskan oleh jahm bin Shafwan. Karena itu aliran ini terkadang disebut juga dengan Jahmiah.
2. Pokok-pokok paham jabariyah.
Selanjutnya, yang menjadi dasar yang sejajar dengan pemahaman pada aliran jabariyah ini dijelaskan Al-Qur’an diantaranya :
perbuatan itu adalah ciptaan allah, sama seperti apa yang dia ciptakan pada benda-benda yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, jaham menginterpretasikan bahwa pahala dan siksa merupakan paksaan dalam arti bahwa allah telah mentakdirkan seseorang itu baik sekaligus memberi pahala dan allah telah mentakdirkan seseorang itu berdosa sekaligus juga menyiksanya.
Sehingga, dalam realisasinya, orang yang termakan paham ini bisa menjadi apatis dan beku hidupnya, tidak bisa berbuat apa-apa, selain berpangku tangan, menunggu takdir Allah semata-mata dan berusahapun tidak. Karena mereka telah berkeyakinan bahwa allah telah mentakdirkan segala sesuatu, dan manusia tidak bisa mengusahakan sesuatu itu.
Disisi lain, aliran ini tetap berpendapat bahwa manusia tetap mendapat pahala atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.
Berkenaan dengan itu perlu dipertegas bahwa Jabariyah yang di kemukakan Jaham bin Shafwan adalah paham yang ekstrem. Sementara itu terdapat pula paham jabariyah yang moderat, seperti yang diajarkan oleh Husain Bin Muhammad al.Najjar dan Dirar Ibn ‘Amr.
Menurut Najjar dan Dirar, bahwa  Tuhanlah yang menciptakan perbuatan Manusia baik perbuatan itu positif maupun negatif Tetapi dalam melakukan perbuatan itu manusia mempunyai bagian daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh tuhan, mempunyai efek, sehingga manusia mampu melakukan perbuatanitu.Daya yang diperoleh untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang kemudian disebut Kasb atau acquisition.
Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang di gerakkan oleh dalang, tetapi manusia dan Tuhan terdapat kerja sama dalam mewujudkan suatu perbuatan, dan manusia tidak semata-mata di paksa dalam melaksanakan perbuatannya.

Aliran Salafiyah
Pengertian dan latar belakang munculnya Salafiyah
Secara bahasa salafiyah berasal dari kata salaf yang berarti terdahulu, yang dimaksud terdahulu disini adalah orang-orang terdahulu yang semasa Rasul SAW, para sahabat, para tabi’in, dan tabitt tabi’in. sedangakan salafiyah berarti orang-orang yang mengikuti salaf.
Istilah salaf mulai dikenal dan muncul beberapa abad abad sesudah Rasul SAW wafat, yaitu sejak ada orang atau golongan yang tidak puas memahami al Qur’an dan hadits tanpa ta’wil, terutama untuk menjelaskan maksud-maksud tersirat dari ayat-ayat al-Qur’an  sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang tidak layak bagi Allah SWT.[
Orang yang termasuk dalam kategori salaf adalah orang yang hidup sebelum tahun 300 hijriah, orang yang hidup sesudah tahun 300 H termasuk dalam kategori khalaf.
Tokoh-tokoh ulama salaf dan perkembangan Aliran salafiyah.
Tokoh terkenal ulama salaf adalah Ahmad bin Hambal. Nama lengkapnya, Ahmad, bin Muhammad bin Hambal, beliau juga di kenal sebgai pendiri dan tokoh mazhab Hambali. .
Tokoh salafiyah yang terkenal lainnya adalah Taqiyuddin Abu al Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abd al salam bin Abdullah bin Muhammad bin Taimiyah al Hambali, atau yang lebih di kenal dengan nama Ibnu Taimiyah. Beliau merupakan seorang teolog dan ahli Hukum yang banyak menghasilkan karya tulis.beliau juga ahli di bidang tafsir dan hadist.
Dalam perkembangannya, ajaran yang bermula pada Imam Ahmad bin Hanbal ini, selanjutnya di kembangkan oleh Ibnu Taimiyah, kemudian di suburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab.dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara Spodaris.
Pada abad ke 20 M gerakan ini muncul dengan dimensi baru. Tokoh-tokohnya adalah Jamaluddin al Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Salafiyah baru al afgani ini terdiri dari 3 komponen pokok yakni :
Keyakinan bahwa kemajuan dan kejayaan umat Islam hanya mungkin di wujudkan jika mereka kembali kepada ajaran Islam yang masih murni dan kembali pada ajaran Islam yang masih murni, dan meneladani pokok hidup sahabat Nabi. Komponen pertama ini merupakan satu unsur yang di miliki oleh salfiyah sebelumnya.
perlwanan terhadap kolonialisme dan mominasi barat, baik politik, ekonomi, maupun kebudayaan.
pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Al Afgani dapat di katakan sebagai penganut salafiyah modern karena dalam rumusan pahamnya  yang banyak meletakkan unsur-unsur moderenismesebagai mana terlihat pada komponen 2 dan 3 diatas.
Syekh Muhammad Abduh adalah murid Al afgani dan Muhammad Rasyid Ridaha adalah murid dari Muhammad Abduh, meskipun dalam beberapa hal antara dengan guru berbeda dalam banyak hal mereka sama.

Aqidah - Sejarah Timbulnya Persoalan Teologi Dalam Islam

Agak aneh kiranya kalau dikatakan bahwa dalam islam, sebagai agama, persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi. Agar hal ini menjadi jelas perlulah kita terlebih dahulu kembali sejenak ke dalam sejarah islam, tegasnya ke dalam fase perkembangannya yang pertama.Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran-ajaran islam yang beliau terima dari Allah SWT di Mekkah, kota ini mempunyai system kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa quraisy.
Sumber: Buku (Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan hal. 3), pengarang Harun Nasution

Teologi islam atau ilmu kalam sebagai disiplin ilmu pengetahuan, baru muncul sekitar abad ke-3 Hijriah. Hal ini sama sekali bukan berarti aspek akidah atau teologi tidak mendapat perhatian dalam ajaran islam atau ilmu-ilmu keislaman, bahkan sebaliknya dalam agama islam aspek akidah merupakan inti ajarannya.Pada waktu itu umat islam masih bersatu dalam segala persoalan pokok akidah, bersatu dalam memahaminya. Umat islam waktu itu tidak pernah berkeinginan untuk mengungkit persoalan akidah yang telah tertanam dan berakar kuat di hati umat islam.Umat islam terus mengisi ruangan sejarah yang terus berjalan hingga sejarah itu sendiri memproduk beberapa persoalan yang muncul kemudian yang harus dihadapi umat islam, termasuk dengan munculnya persoalan-persoalan dalam masalah teologi.
Sumber: Buku (Tauhid Ilmu Kalam hal. 141), pengarang Drs. H. Muhammad Ahmad

Pengertian Teologi
Menurut William L. Resse, Teologi berasal dari bahasa Inggris yaitu theology, yaitu pemikiran tentang ketuhanan.Menurut William Ockham, Teologi adalah disiplin ilmu yang membicarakan kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan.
Menurut Ibnu Kaldun, Teologi adalah disiplin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional.
Sumber: http://www.scribd.com/doc/15821231/Sejarah-Teologi-Islam
 
Aliran- aliran dalam teologi Islam ini muncul setelah wafatnya Rasulullah Muhammad SAW, karena begitu sentralnya tokoh seorang pribadi Muhammad SAW disamping sebagai Nabi,Rasul Beliau juga seorang kepala Negara dan kepala pemerintahan, ahli Negara (Negarawan), sehingga ketika Beliau wafat masyarakat madinah sibuk memikirkan pengganti Beliau untuk mengepalai Negara yang baru lahir itu. Sampai hal ini mengganggu prosesi pemakaman beliau dan mengganggap pemakaman Nabi merupakan soal kedua bagi mereka waktu itu. Selanjutnya muncul persoalan ‘Khilafah’ soal pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala Negara.Sejarah mencatat bahwa Abu Bakar lah yang disetujui oleh masyarakat Islam diwaktu itu untuk menjadi Khalifah pertama (pengganti Rasul). Kemudian Abu Bakar digantikan ol.eh Umar Ibn al-Khattab dan Umar tergantikan oleh Usman Ibn Affan.Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya, kaum keluarganya dari golongan masyarakat aristocrat/ bangsawan Mekkah yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang dagang, admistrasi. Pengetahuan mereka ini sangat bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah- daerah diluar Semenanjung Arabia yang masuk dibawah kekuasaan Islam.Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup mementang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Tindakan –tindakan politik yang dilakukan Usman kerap kali mengangkat mereka (kerabat keluarganya) menjadi Gubernur-gubernur di daerah yang tunduk kepada kekeuasaan Islam. Selanjutnya perasaan tidak senang muncul di daerah akibat dari tindakan politik yang dilakukan Usman ini. Di Mesir sebagai reaksi dijatuhkannya Umar Ibn al-Khattab yang digantikan oleh Abdullah Ibn Sa’d Ibn abi Sarh salah satu anggota kerabat keluarga Usman sebagai Gubernur mesir. 500 pemberontak berkumpul dan kemudian bergerak ke Madinah.Perkembangan di Madinah selanjutnya membawa persoalan pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontakan dari mesir ini. Setelah Usman wafat Ali Ibn Abu Thalib sebagai calon terkuat menjadi khalifah ke-empat. Tetapi segera setelah memimpin ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi Khalifah terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan, dorongan dari Aisyah ra. Tantangan dari Aisyah, talhah, Zubeir ini dipatahkan ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak di tahun 656 H. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dalam pertempuran ini dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.Tantangan kedua datang dari Muawwiyah. Gubernur Damaskus dan keluarga yang dekat dengan Usman sebagaimana halnya Talhah dan Zubeir mereka tidak mau mengakui Ali Ibn Thallib sebagai Khalifah. Ia menuntut kepada Ali agar menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh Ali turut andil dalam pembunuhan itu¹ .Dalam pertempuran ini (Perang Siffin) tentara Ali dapat mendesak tentara Muawwiyah. Namun tangan kanan Muawwiyah Amr Ibn ash yang terkenal sebagai orang licik minta berdamai dengan mengangkat al-quran ke atas. Qurra yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu dan dicarilah perdamaian dengan mengadakan Arbitrase (Tahkim). Sebagai perantara/ utusan diangkatlah orang-orang kepercayaan yakni: Amr bin Ash dari pihak Muawwiyah dan Abu Musa al Asy’arydari pihak Ali.
Sumber: http://heru-id.blogspot.com/2010/02/1-sejarah-tentang-timbulnya-aliran.html
 
“Barang siapa yang tidak memutuskan, menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”(Q.S Al-Maidah: 44)Kemudian pengertian kafir, semakin berkembang tidak hanya pada orang yang tidak menentukan hukum berdasarkan Al-quran tetapi juga kepada orang yang berbuat dosa besar. Persoalan dosa besar mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam, yaitu Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah.
Sumber: Buku (Tauhid Ilmu Kalam hal. 143), pengarang Drs. H. Muhammad Ahmad

Awalnya karena persoalan politik, lalu berlanjut pada masalah akidah dan takdir.
Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran Islam di Makkah, kota ini memiliki sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy. Sistem pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis yang anggotanya terdiri atas kepala-kepala suku yang dipilih menurut kekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat.Tetapi, pada saat Nabi SAW diangkat sebagai pemimpin, beliau mendapat perlawanan dari kelompok-kelompok pedagang yang mempunyai solidaritas kuat demi menjaga kepentingan bisnisnya. Akhirnya, Nabi SAW bersama para pengikutnya terpaksa meninggalkan Makkah dan pergi (hijrah) ke Yatsrib (sekarang bernama Madinah) pada tahun 622 M.Ketika masih di Makkah, Nabi SAW hanya menjadi pemimpin agama. Setelah hijrah ke Madinah, beliau memegang fungsi ganda, yaitu sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan. Di sinilah awal mula terbentuk sistem pemerintahan Islam pertama, yakni dengan berdirinya negara Islam Madinah.Ketika Nabi SAW wafat pada 632 M, daerah kekuasaan Madinah tak sebatas pada kota itu saja, tetapi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Negara Islam pada waktu itu, sebagaimana digambarkan oleh William Montgomery Watt dalam bukunya yang bertajuk Muhammad Prophet and Statesman, sudah merupakan komunitas berkumpulnya suku-suku bangsa Arab. Mereka menjalin persekutuan dengan Muhammad SAW dan masyarakat Madinah dalam berbagai bentuk.Sepeninggal Nabi SAW inilah timbul persoalan di Madinah, yaitu siapa pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu. Dari sinilah, mulai bermunculan berbagai pandangan umat Islam. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar as-Siddiq-lah yang disetujui oleh umat Islam ketika itu untuk menjadi pengganti Nabi SAW dalam mengepalai Madinah. Selanjutnya, Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khattab. Kemudian, Umar digantikan oleh Usman bin Affan.
Munculnya perselisihan

Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat khilafah Islamiyah mengalami suksesi kepemimpinan dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. Masa pemerintahan Ali merupakan era kekacauan dan awal perpecahan di kalangan umat Islam. Namun, bibit-bibit perpecahan itu mulai muncul pada akhir kekuasaan Usman.
Di masa pemerintahan khalifah keempat ini, perang secara fisik beberapa kali terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya. Peristiwa-peristiwa ini telah menyebabkan terkoyaknya persatuan dan kesatuan umat. Sejarah mencatat, paling tidak, dua perang besar pada masa ini, yaitu Perang Jamal (Perang Unta) yang terjadi antara Ali dan Aisyah yang dibantu Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah serta Perang Siffin yang berlangsung antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan.Faktor penyulut Perang Jamal ini disebabkan oleh yang Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang dan menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak oleh Aisyah, Zubair, dan Talhah. Zubair dan Talhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Ali semasa memerintah juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah bin Abu Sufyan, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi–di masa pemerintahan Khalifah Usman–yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan.Perselisihan yang terjadi antara Ali dan para penentangnya pun menimbulkan aliran-aliran keagamaan dalam Islam, seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, Muktazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal Jamaah, Jabbariyah, dan Kadariah.Aliran-aliran ini pada awalnya muncul sebagai akibat percaturan politik yang terjadi, yaitu mengenai perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan kekuasaan (aspek sosial dan politik). Namun, dalam perkembangan selanjutnya, perselisihan yang muncul mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik menjadi persoalan keimanan.”Kelompok khawarij yang akhirnya menjadi penentang Ali mengganggap bahwa Ali tidak melaksanakan keputusan hukum bagi pihak yang memeranginya sebagaimana ajaran Alquran. Karena itu, mereka menunduh Ali kafir dan darahnya halal,” kata guru besar filsafat Islam, Prof Dr Mulyadi Kartanegara, kepada Republika.Sementara itu, kelompok yang mendukung Ali dan keturunannya (Syiah) melakukan pembelaan atas tuduhan itu. Dari sinilah, bermunculan berbagai macam aliran keagamaan dalam bidang teologi.Selain persoalan politik dan akidah (keimanan), muncul pula pandangan yang berbeda mengenai Alquran (makhluk atau kalamullah), qadha dan qadar, serta sebagainya.
Sunni dan Syiah Dua Aliran Teologi yang Masih Bertahan
Dari sekian banyak aliran kalam (teologi) yang berkembang di masa kejayaan peradaban Islam, seperti Syiah, Khawarij, Muktazilah, Murjiah, Kadariyah, Jabbariyah, Asy’ariyah, Maturudiyah, dan sebagainya, hingga saat ini hanya dua aliran yang masih memiliki banyak pengikut. Kedua aliran itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah (biasa disebut dengan kelompok Sunni) dan Syiah.Penganut kedua paham ini tersebar di berbagai negara di dunia yang terdapat komunitas Muslim. Tak jarang, dalam satu negara Muslim, terdapat dua penganut aliran ini.Secara statistik, jumlah Muslim yang menganut paham Sunni jauh lebih banyak dibandingkan yang menganut paham Syiah. Wikipedia menyebutkan, sekitar 90 persen umat Muslim di dunia merupakan kaum Sunni dan sekitar 10 persen menganut aliran Syiah.Namun, sumber lain menyebutkan, paham Syiah dianut oleh sekitar 20 persen umat Islam. Sementara itu, penganut Islam Sunni diikuti lebih dari 70 persen. Rujukan lain menyebutkan, penganut Islam Sunni sebanyak 85 persen dan Syiah 15 persen.Kendati jumlahnya tak lebih dari 20 persen, penganut Syiah ini tersebar hampir di seluruh dunia. Yang terbesar ada di Iran dan Irak, kemudian sedikit di Afghanistan, Pakistan, India, Lebanon, Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, beberapa negara pecahan Uni Soviet, beberapa negara di Eropa, dan sebagian di Amerika Serikat.Seperti halnya Syiah, paham Sunni juga dianut oleh umat Islam di negara-negara tersebut. Tetapi, itu dalam komposisi yang berbeda-beda antara satu negara dan negara yang lain. Paham Sunni dianut lebih banyak umat, termasuk di Indonesia.Di Iran yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, 90 persen merupakan penganut Syiah dan hanya delapan persen yang menganut aliran Ahlusunah Waljamaah. Karena jumlahnya mayoritas, paham Syiah tidak hanya diperhitungkan sebagai aliran teologi, tetapi juga sebagai gerakan politik di Iran.Di Irak, 60 persen penduduk Muslimnya menganut paham Syiah dan 40 persen merupakan Sunni. Namun, ada juga yang menyebutkan, penganut Islam Syiah di negeri ‘Seribu Satu Malam’ ini berkisar 60-65 persen dan penganut Suni 32-37 persen. Para penganut Syiah di Irak merupakan orang dari suku Arab. Sementara itu, penganut Islam Sunni adalah mereka yang berasal dari suku Arab, Kurdi, dan Turkmen.Di negara Muslim lainnya, seperti Afghanistan, jumlah Muslim Sunni mencapai 80 persen, Syiah 19 persen, dan penganut agama lainnya satu persen. Di Sudan, 70 persen penduduknya merupakan penganut Islam Sunni yang mayoritas bermukim di wilayah utara Sudan. Di Mesir, 90 persen penduduknya adalah penganut Islam yang mayoritas beraliran Suni. Sementara itu, sisanya menganut ajaran sufi lokal.Sedangkan, masyarakat Muslim di Lebanon, selain menganut paham Sunni dan Syiah, juga menganut paham Druze. Namun, dari 59 persen penduduk Lebanon yang beragama Islam, tidak diketahui secara pasti berapa komposisi penganut paham Sunni, Syiah, dan Druze.Berbagai sumber yang ada menyebutkan bahwa komunitas Suku Kurdi (kurang dari satu persen) yang bermukim di Lebanon, termasuk dalam kelompok Sunni. Jumlah mereka diperkirakan antara 75 ribu hingga 100 ribu orang. Selain itu, ada pula ribuan Suku Beduin Arab yang tinggal di wilayah Bekaa dan Wadi Khaled, yang semuanya itu menganut paham Sunni.Kendati demikian, di beberapa negara Muslim yang mayoritas menganut paham Sunni, seperti Indonesia dan Malaysia, penganut Syiah nyaris tidak diperhitungkan, baik sebagai aliran teologi maupun gerakan politik.
Siapa Ahlus Sunnah wal Jamaah?
Ketika membicarakan aliran-aliran teologi dalam Islam, ada sebuah hadis Nabi SAW yang selalu diutarakan, ”Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Satu di antaranya yang selamat, sedangkan lainnya menjadi golongan yang rusak. Beliau ditanya, siapa golongan yang selamat itu? Beliau menjawab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (Hadis riwayat Abu Daud, at-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ahmad).Banyak ulama berpendapat, Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah mereka yang mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, pengakuan, maupun hal-hal lain yang dikaitkan dengan pribadi Rasulullah SAW. Itu sebabnya aliran ini disebut juga Ahlul Hadis was Sunnah (golongan yang berpegang pada hadis dan sunah).Siapa dan kelompok manakah yang masuk dalam kategori Ahlus Sunnah wal Jamaah itu? Mayoritas umat Islam mengaku mempraktikkan sunah-sunah Nabi SAW, namun secara ideologi dan emosional terikat dengan aliran-aliran yang berbeda.Untuk menjawab pertanyaan di atas, secara definitif tidaklah mudah. Ada aspek-aspek yang mesti dilihat sebelum menggolongkan kelompok tertentu sebagai Ahlus Sunnah atau bukan. Aspek-aspek yang dimaksud adalah sejarah, sosial, budaya, dan politik.Mengenai hal ini, ada beberapa alasan. Pertama, ajaran Islam mampu mengubah lingkungan sosial dan budaya yang berimplikasi pada perubahan pandangan hidup masyarakatnya. Kedua, dalam proses perubahan dari kondisi lama pada kondisi baru, terjadi penghayatan terhadap ajaran Islam yang dipengaruhi oleh keadaan sosial budaya setempat. Setiap masyarakat akan menghayati dan merespons ajaran Islam dengan cara yang berbeda karena mereka berada di suatu masa dan lingkungan yang tidak sama.Itulah mengapa ada Asy’ariyah yang berkembang di Irak, Maturidiyah di Samarkand, dan Thohawiyah di Mesir. Ketiganya dianggap sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Pada awalnya, aliran-aliran tersebut muncul untuk merespons realitas yang sedang dihadapi umat Islam. Ketika itu, ide-ide yang ditawarkan ulama besar adalah cara pandang baru tentang kehidupan beragama, bukan menawarkan aliran teologi baru.Sejarah mencatat, munculnya Asy’ariyah adalah respons terhadap kebijakan penguasa Dinasti Abbasiyah yang menjadikan Muktazilah sebagai aliran resmi pemerintah. Pengaruh paham Muktazilah mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M), Al-Mu’tasim (218-228 H/833-842 M), dan Al-Wasiq (228-233 H/842-847 M).Muktazilah terkenal mengagungkan rasionalitas yang sulit diterima oleh masyarakat awam. Kemudian, Asy’ariyah muncul menawarkan cara pandang baru yang lebih sederhana dan membumi. Doktrin-doktrinnya didasarkan pada sunah-sunah Nabi SAW dan tradisi para sahabat.Sebagai sebuah cara pandang, perbedaan dalam tubuh Asy’ariah pun muncul. Muhammad Tholhah Hasan dalam bukunya Wawasan Umum Ahlus Sunnah wal Jamaah menulis bahwa dalam Asy’ariyah, terdapat perbedaan-perbedaan visi.Visi Abu al-Hasan al-Asy’ari (imam Asy’ariyah) tidak sama dengan murid-muridnya, seperti Al-Baqillani, Al-Juwaini, Al-Ghozali, dan As-Sanusi. Padahal, mereka mengklaim dirinya penganut Asy’ari. Demikian pula dalam mazhab fikih, terdapat perbedaan pandangan dan fatwa antara Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, seperti An-Nawawi, Ar-Rofi’i, Al-Buthi, Al-Qoffal, dan lain-lain.
Dari manhaj menjadi mazhab

Dalam perjalanan sejarahnya, Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak berhenti pada manhaj al-fikr (cara pandang) semata, tetapi menjelma menjadi firqoh (kelompok) yang terorganisasi. Dikatakan demikian karena Ahlus Sunnah wal Jamaah membentuk suatu doktrin dan mempunyai pengikut yang tetap. Jika seseorang mengaku sebagai pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang bersangkutan harus punya ciri-ciri tertentu dalam keyakinan, sikap, dan perilaku.
Ciri-ciri itu kemudian menjadi pembeda antara penganut Ahlus Sunnah dan penganut aliran teologi lainnya. Masalah menjadi lebih rumit tatkala aliran-aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jamaah sendiri punya karakter dan cirinya sendiri-sendiri.Ada pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah yang disebut Ahlul Atsar, yaitu mereka yang mengikuti Imam Ahmad bin Hambal. Mayoritas kelompok ini mengikuti pandangan-pandangan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah. Ada yang disebut Al-Asya’iroh, yang sekarang menjadi umat Muslim mayoritas di beberapa negara, termasuk Indonesia. Ada pula kelompok Ahlus Sunnah ala Al-Maturidiyah yang terkenal dengan penggunaan rasionalitasnya.Jika ada orang yang mencari-cari manakah di antara ketiga aliran di atas yang paling benar, jawabannya tergantung dari aliran manakah orang tersebut berasal. Jika ia orang Indonesia, mungkin akan menjawab Al-Asya’iroh-lah yang paling absah sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah.Akan tetapi, lebih arif jika umat Islam menyikapi perbedaan itu sebagai rahmat Allah SWT. Mari, kita biarkan perbedaan-perbedaan aliran teologi dalam Islam laksana warna-warni bunga yang mekar di tengah taman. Bukankah sebuah taman jauh lebih indah jika ditumbuhi aneka bunga dibandingkan taman yang hanya memiliki satu macam bunga? Tidak ada kebenaran, kecuali Allah SWT.
Sumber: http://jakarta45.wordpress.com/2009/09/01/wisata-religius-sejarah-munculnya-aliran-teologi-dalam-islam
 
Lahirnya teologi dalam Islam adalah tergolong unik. Pasalnya teologi Islam bukan lahir dari persoalan agama, melainkan justru dari persoalan politik. Persoalam yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan bidang teologi. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persolan teologi.Dengan demikian, teologi Islam tersebut sangat lengket dengan persoalan politik. Ketika hendak membedah teologi, mau tidak mau juga membedah politik. Memang semenjak wafatnya Rosulullah, umat Islam menaruh penting persoalan kepemimpinan. Umat Islam Arab yang masyarakatnya terdiri dari berbagai suku, sering terjebak dalam pertentangan mengenai sosok pemimpin yang pantas menggantikan Rosulullah sebagai pemimpin masyarakat.Ketika nabi wafat pada tahun 632 M daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatas pada kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruuh semenanjung Arabia. Newgeri Islam di waktu itu, seperti digambarkan oleh W.M.Watt, telah merupakan kumpulan suku-suku bangsa Arab, yang mengikat tali persekutuan dengan (Nabi) Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga dengan masyarakat Makkah sebagai intinya.Selanjutnya, bagaimana bentuk teologi Islam dari masing-masing periode yang pernah muncul dalam sejarah Islam. Menurut Harun Nasution, dalam sejarah Islam, teologi Islam terbagi dalam periode atau zaman yakni zaman klasik (650-1250 M), zaman pertengahan (1250-1800 M) dan zaman modern (1800 dan setererusnya).

Periode klasik (650-1250 M)
Teologi yang berkembang di era klasik ini adalah teologi sunnatullah atau teologi yang berdasarkan pada hukum alam (natural law). Teologi natural pada prinsipnya keberimanan yang berdasarkan hanya pada rasio, teologi ini kajiannya murni filsafat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filosofis. Sehingga produk teologi yang dihasilkan adalah teologi yang dibangun berdasarkan argumen-argumen logis-rasional.Ciri-ciri teologi natural (sunnatullah) ini adalah :- Kedudukan akal yang tinggi- Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.- Kebebasan berpikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur’an dan Hadits yang sedikit sekali jumlahnya.- Percaya pada adanya sunnatullah dan kausalitas- Mengambil dari metaforis dari tek wahyu- Dinamika dalam sikap dan berpikir.

Sumber: http://moxeeb.wordpress.com/2008/10/23/periodesasi-sejarah-teologi-islam

Aqidah - Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Tauhid

Perkataan Tauhid berasal dari Bahasa Arab, masdar dari kata Wahhada-Yuwahhidu. Secara Etimologis, tauhid berarti Keesaan. Maksudnya, ittikad atau keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa, Tunggal; Satu. Pengertian ini sejalan dengan pengertian Tauhid yang digunakan dalam Bahasa Indonesia, yakni “ Keesaan Allah “ Mentauhidkan berarti mengakui keesaan Allah ; Mengesakan Allah.
Husain Affandi al-Jasr mengatakan :
“Ilmu Tauhid adalah ilmu yang membahas hal-hal yang menetapkan akidah agama dengan dalil-dalil yang meyakinkan“.

Dengan redaksi yang berbeda dan sisi pandang yang lain, Ibnu Khaldun mengatakan bahawa Ilmu Tauhid adalah :
“Ilmu yang berisi alasan-alasan dari aqidah keimanan dengan dalil-dalil Aqliyah dan berisi pula alasan-alasan bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng Aqidah Salaf dan Ahli Sunnah“.

Tauhid artinya mengetahui atau mengenal Allah ta’ala, mengetahui dan meyakini bahwa Allah itu tunggal dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Sejarah menunjukkan, bahwa pengertian manusia terhadap tauhid itu sudah tua sekali, yaitu sejak diutusnya nabi Adam kepada anak cucunya. Sudah diketahui bahwa nabi Adam adalah nenek moyang manusia pertama. Setelah ia beranak cucu yang banyak, ia ditugaskan Allah menjadi nabi kepada sekalian anak cucunya itu. Adam mengajarkan tauhid kepada anak cucunya. Merekapun taat dan tunduk kepada ajaran Adam yang meng-Esakan Allah SWT. Tegasnya sejak permulaan manusia mendiami bumi ini, sejak itu telah diketahui dan diyakini adanya dan Esanya Allah pencipta alam. Hal ini (adanya tauhid sejak zaman Nabi Adam)
Seperti firman Allah dalam surat Al Anbiya’ ayat 25 yang Artinya:
“Dan tidaklah kami mengutus sebelum engkau seseorang rosul pun melainkan kami wahyukan kepadanya: bahwasanya tiada tuhan yang sebenarnya disembah melainkan Aku, maka sembahlah Daku.”

Lahirnya ilmu tauhidApa yang melatar belakangi keberadaan tauhid sebagai ilmu yang berdiri sendiri ? Sebenarnya banyak sekali factor yang mendorong kehadiran tauhid sebagai ilmu. Namunjika dikaji secara keseluruhan, ia dapat dikelompokkan kepada 2 faktor yaitu intern dan ekstern. Berikut ini ringkasan dari uraian Ahmad Amin dalam bukunya Dhuha Al-Islam mengenai kedua factor tersebut.
1. Faktor Intern
Yang dimaksud dengan faktor intern adalah faktor yang berasal dari islam sendiri. Faktor-faktor tersebut adalah :  
  1. al-Qur’an disamping berisi masalah ketauhidan, kenabian. Dan lain-lain berisi pula semacam apologi dan polemic, terutama terhadap agama-agama yang ada pada waktu itu, misalnya : Surat al-Maidah ayat 116 berisi penolakan terhadap ketuhanan Nabi Isa. 
  2. Pada periode pertama masalah keimanan tidak dipersoalkan secara mendalam. Setelah Nabi wafat dan Ummat islam bersentuhan dengan kebudayaan dan peradaban asing, mereka mulai mengenal Filsafat, merekapun menfilsafati al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang secara lahir nampak satu sama lain tidak sejalan, bahkan kelihatan bertentangan. Hal tersebut perlu dipecahkan sebaik mungkin, dan untuk memecahkannya perlu sutu ilmu tersendiri. 
  3. Masalah politik, terutama yang berkenaan dengan khalifah, menjadi factor pula dalam kelahiran ilmu tauhid.
2. Faktor Ekstern
Yang dimaksud dengan faktor ekstern ialah factor yang datang dari luar islam. Faktor tersebut antara lain ialah pola piker ajaran agama lain yang dibawa oleh orang tertentu, termasuk Umat Islam yang dahulunya menganut agama lain ke dalam ajaran islam.

Masa Rasulullah dan KhulafaurasyidinPada masa Rasulullah adalah masa menyusun peraturan, menetapkan pokok-pokok akidah, menyatukan umat Islam dan membangun kedaulatan Islam. Di masa ini umat Islam menyerahkan semuanya kepada Rasul untuk mengetahui dasar-dasar agama dan hukum-hukum syari’ah. Mereka diberi petunjuk wahyu dan Al-Qur’an.
Rasulullah menjauhkan umatnya dari segala hal yang menimbulkan perpecahan. Jika ada perselisihan pendapat, maka diadakan pertukaran pikiran yang dilakukan dengan sistem yang menghasilkan maksud (musyawarah). Rasul melarang umatnya berselisih paham, karena akan menyebabkan tercerai berai dalam agama yang kemudian timbul pertengkaran-pertengkaran yang membuat mereka terpecah-pecah menjadi golongan-golongan. Oleh karena itu, para mukmin harus menaati Allah dan Rasul-Nya.
Rasul juga menyuruh para sahabat untuk bersikap imbang terhadap ahlul kitab dengan tidak membenarkan apa yang mereka berikan dan tidak pula membantah mereka.
Di masa ini, ajaran ketauhidan yang ditegaskan dan dijelaskan oleh Rasul dari Al-Qur’an melalui hadisnya. Oleh karena itu pada masa ini ajaran keagamaan bersifat jelas dan nyata.
Setelah Rasul wafat, selanjutnya kepemimpinan diserahkan kepada Khulafaurasyidin. Saat pemerintahan khalifah I dan II yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab, mereka tidak sempat membahas dasar-dasar akidah karena pada masa itu mereka sibuk untuk menghadapi musuh dan berusaha mempertahankan kesatuan dan persatuan umat Islam. Saat mereka membaca dan memahami Al-Qur’an, mereka tidak mencari takwil atas ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka baca. Mereka hanya mengikuti perintah Allah dalam Al-qur’an dan menjauhi larangannya. Mereka hanya mensifatkan Allah dengan apa yang telah Allah sifatkan sendiri. Oleh karena itu, pada masa ini tidak terjadi perkembangan dalam bidang akidah.
Saat masa khalifah Usman bin Affan terjadi kekacauan politik, Usman difitnah oleh Abdullah bin Saba’, kemudian kekacauan ini diakhiri dengan terbunuhnya Usman. Pada masa ini, umat Islam terpecah-pecah dalam beberapa golongan. Dari tiap golongan-golongan itu, mereka berusaha mempertahankan pendiriannya. Mulai dari sinilah terbukalah pintu takwil bagi nash-nash Al-Qur’an dan hadis. Akhirnya terjadilah pembuatan riwayat-riwayat palsu. Sehingga, pada masa ini akidah mulai berkembang luas. 

Masa Bani Umayyah dan Bani AbbasiyahKini terbuka masa untuk memikirkan hukum-hukum agama dan dasar-dasar akidah. Pada masa ini banyak pemeluk agama lain yang pindah masuk Islam. Namun, jiwa kepercayaan terhadap agama yang dulu masih melekat dalam benak mereka, sehingga lahirlah kebebasan berbicara tentang masalah-masalah keagamaan yang belum pernah dibahas oleh para ulama salaf dan membuat Islam bersentuhan dengan budaya luar.
Dari ulama-ulama salaf, terdapat segolongan ulama yang merupakan tokoh-tokoh qadariyah yang pertama, seperti: Ma’bad al Juhani, Ghailan ad Dimasyqi dan Ja’ad bin Dirham. Mereka mulai membahas masalah qadr dan masalah istitha’ah.
Para sahabat yang semasa dengan mereka seperti Abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abdullah, Anas ibn Malik, Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan teman-temannya menyalahkan golongan qadariyah dan menganjurkan masyarakat untuk menjauhi mereka.
Dan pada masa ini juga muncul golongan yang meniadakan qudrat dan iradat dari manusia, agar Allah tidak mempunyai sekutu dalam perbuatan-Nya dan meniadakan sifat-sifat Allah. Oleh karena itu, mereka dinamakan Mu’aththilah. Mereka juga dinamakan Jabriyah atau Mujbarah berkaitan dengan akidah yang mereka anut. Mereka pun juga dinamakan Jahmiyah, yakni pengikut-pengikut Jaham ibn Shafwan.
Di penghujung abad pertama Hijrah, ada juga golongan yang mengkafirkan orang-orang yang mengerjakan dosa besar. Golongan ini terkenal sebagai golongan Khawarij.
Al Hasan Al Bisri mengemukakan pendapat bahwa orang yang mengerjakan dosa besar dipandang fasiq, namun tidak keluar dari Islam. Pendapat Al Hasan ini dibantah keras oleh muridnya Washil ibn Atha’. Dia mengatakan bahwa orang yang mengerjakan dosa besar berada di antara dua martabat. Dan pendapatnya ini diikuti oleh Amar ibn Ubaid. Karena pendapat inilah, kemudian Washil ibn Atha’ dan Amar ibn Ubaid mengasingkan diri yang kemudian dinamakan golongan Mu’tazilah.
Kemudian dari golongan Qadariyah dan Jahmiyah melebur ke dalam kelompok lain. Hal ini dikarenakan golongan Qadariah dan Jahmiyah tidak dapat berdiri sebagai golongan. Maka Qadriyah itu pun berpindah kepada Mu’tazilah.
Golongan Qadariyah ini menyebut dirinya dengan Ahlul ’ad-li wat Tauhid dikarenakan mereka menetapkan bahwa hamba ini mempunyai qudrat, bebas aktif dalam segala tindakannya, yang karenanya mereka dipahalai dan disiksa. Mereka juga meniadakan kezaliman bagi Allah. Mereka juga menamakan dirinya dengan Ahlut Tauhid, karena mereka meniadakan sifat dari Allah, agar zat Allah benar-benar Esa.
Di akhir masa, Washil ibn Atha’ telah menyusun dasar-dasar ilmiah bagi mazhab Mu’tazilah. Dia pun juga mengajak masyarakat untuk mengembangkan pahamnya. Menurut uraian Al-Maqrizi, Washil ibn Atha’ telah menyusun sebuah kitab yang dinamakan Kitabul Manzilati Bainal Manzilataini dan kitab Al Futuya.
Dengan demikian pada masa inilah mulai timbul usaha menyusun kitab pegangan dalam Ilmu Kalam.
Dalam masa Bani Abbas, hubungan antara bangsa Arab dengan bangsa Ajam semakin erat, kemudian berkembanglah ilmu dan kebudayaan. Perkembangan ilmu dalam masa ini adalah usaha menterjemahkan kitab-kitab filsafat dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab.
Para penguasa Bani Abbas mempergunakan orang-orang Persia yang telah memeluk agama Islam, orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani untuk menjadi pegawai dalam pemerintahannya, untuk menterjemahkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa mereka ke dalam bahasa Arab.
Para penterjemah berusaha mengembangkan pendapat mereka tentang agama ke dalam masyarakat muslimin. Ada sebagian dari penterjemah yang berniat buruk dengan berpura-pura masuk Islam dan mengembangkan falsafah untuk kepentingan mereka. Karena itu, kemudian Islam menjadi terpecah-pecah ke dalam partai-partai.
Pada golongan Mu’tazilah, mereka tidak dapat mempertahankan agama tanpa menggunakan falsafah Yunani. Mereka pun juga tidak menerima pendapat dari golongan lain.
Sejak masa ini berkembanglah gerakan yang menggunakan falsafah untuk menetapkan akidah-akidah Islamiyah dan Ilmu Kalam, yang kemudian mulailah Ilmu Kalam dituang dalam tulisan.
Amr ibn Ubaid al Mu’tazil menyusun sebuah kitab dan menolak paham Qadariah. Sedangkan Hisyam Ibnu Al Hakam Asy Syafi’i menyusun sebuah kitab menolak paham Mu’tazilah. Dan Abu Hanifah menyusun sebuah kitab bernama Al Alim wal Muta’alim dan kitab Al Fiqhul Akbar untuk mempertahankan akidah ahlus sunnah.
Dalam masa ini, golongan Mu’tazilah mengembangkan dakwah dari dasar-dasar yang telah digariskan Washil ibn Atha’. Banyak pemuka-pemuka masyarakat mengikuti paham mereka dikarenakan mereka memiliki daya akal dan kecerdasan serta mahir dalam menguraikan dalil-dalil. Pemuka-pemuka tersebut adalah Al Ma’mun, Al Mu’tashim dan Al Watsiq.
Saat masa Bani Abbas, golongan Mu’tazilah memperoleh kedudukan yang baik, mereka tidak lagi mendapat tekanan seperti saat Bani Umayyah. Sehingga mereka dapat dengan leluasa mengembangkan paham mereka.
Saat pemerintahan Al Ma’mun sering terjadi perdebatan antar ulama-ulama kalam. Dia memberi kesempatan bagi tokoh-tokoh Mu’tazilah. Akan tetapi perdebatan tentang adanya sifat bagi Allah berhenti pada saat lahir partai-partai Musyabbihat, yaitu dengan lahirnya Muhammad ibn Karram. Dia adalah pemimpin golongan Karramiyah yang menetapkan adanya sifat bagi Allah dan menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk. Sedangkan Al Ma’mun sendiri adalah penganut Mu’tazilah dan ia memaksa masyarakat untuk menganut pendapat itu, dan dia menyiksa orang-orang yang tidak mau menerima pendapat itu, sehingga dalam peristiwa ini banyak orang yang tersiksa dan terbunuh.
Tindakan Al Ma’mun dalam membantu Mu’tazilah dengan kekerasan menyebabkan masyarakat menjauhkan diri dari golongan Mu’tazilah. Kian hari pengaruh Mu’tazilah pun kian redup dan lemah.
Kemudian pada saat itu, munculah Abu Hasan Al Asy’ari yaitu murid utama dari abu Ali Muhammad ibn Abdul Wahab Al Jubba’i Al Mu’tazili. Saat itu abu Hasan membantah pendapat gurunya dan dia membela mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Abu Hasan mengambil jalan tengah antara mazhab salaf dan mazhab penentangnya. Dia mengumpulkan dalil-dalil aqli dan naqli untuk menolak paham Mu’tazilah. Usaha Abu Hasan ini mendapat dukungan dari Abu Mansur Al Maturidi. Maka paham Mu’tazilah yang menganut mazhab i’tizal pun berangsur-angsur lenyap dari anutan masyarakat.
Kemudian para pengikut Abu Hasan Al Asy’ari meneruskan teori yang telah digariskan oleh  Al Asy’ari, yaitu dengan mengumpulkan dalil aqli dan naqli. Al Asy’ari juga memandang dalil-dalil yang dibuat untuk muqaddamah aqliyah seperti teori Juhari dan Aradhl, merupakan bagian dari iman. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa batalnya dalil, berarti batalnya mad-lul. Inilah jalan yang kemudian ditempuh oleh mutaqaddimin Asy’ariyah seperti Abu Bakar Al Baqillani, Al Isfarayini, dan Imamul Haramain Al Juwaini.
Lalu datang kelompok pengikut Asy’ari yang mendalami ilmu mantiq, kemudian mereka menetapkan  bahwa batalnya dalil belum tentu batalnya mad-lul, karena mad-lul tersebut mungkin ditetapkan dengan dalil lain. Inilah jalan yang ditempuh oleh muta-akhirin seperti Al Ghazzali dan Ar Razi.
Sedang Ibnu Rusyd dalam kedua kitabnya Fashul Maqal dan Al Kasyfu’an Manahijil Adillah telah mengkritik jalan yang ditempuh oleh para mutakalimin dalam cara mereka mengambil dalil dan memalsukan muqaddamah-muqaddamah yang berdasar ilmu falsafah yang dipegang Al Asy’ariyah. Ia mengemukakan bahwa muqaddamah-muqaddamah itu berada di atas kemampuan akal orang umum dan tidak menyampaikan kepada yang dimaksudkan, serta menjauh dari jalan yang telah digariskan Al-Qur’an. Dan dia berusaha mempertemukan syari’at dan hikmat (falsafah). Dia pun juga menghendaki untuk mengambil dalil untuk menetapkan akidah-akidah Islamiyah tanpa terlalu menggunakan falsafah serta menghendaki agar mengikuti jalan yang digariskan Al-Qur’an yang sesuai dengan fitrah manusia.

Masa Pasca Bani Abbas sampai sekarangSetelah masa Bani Abbas, munculah pengikut Al Asy’ari yang terlalu jauh menceburkan dirinya dalam falsafah dan Mantiq, kemudian mereka mencampur adukkan ke dalam ilmu kalam sebagaimana yang dilakukan oleh Baidlawi dalam kitabnya Ath Thawali dan Abuddin Al Ijy dalam kitab Al Mawaqif.
Mazhab Al Asy’ari ini kemudian berkembang pesat merata ke seluruh pelosok hingga tidak ada mazhab yang menyalahinya selain mazhab Hanbaliyah yang tetap bertahan dengan mazhab salaf, yaitu beriman sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Al Hadis tanpa mentakwilkan ayat-ayat ataupun hadis-hadis tersebut.
Saat permulaan abad ke-8 H lahirlah di Damaskus terdapat seorang ulama besar yaitu Taqiyuddin Ibnu Taimiyah yang menentang pihak-pihak yang mencampuradukkan falsafah dengan kalam. Ibnu Taimiyah membela mazhab salaf dan membantah pendirian-pendirian golongan Al Asy’ariyah. Oleh karenanya, pada saat itu masyarakat Islam terbagi menjadi 2 golongan yaitu pro dan kontra terhadap Ibnu Taimiyah.
Kemudian jalan yang ditempuh Ibnu Taimiyah diteruskan oleh seorang muridnya yaitu Ibnu Qayyimi Jauziyah.
Setelah masa-masa ini berlalu, kemauan dan daya kreatif untuk mempelajari ilmu Kalam mulai surut. Hanya tinggal para penulis yang memperkatakan makna-makna lafadz dan ibarat-ibarat dalam kitab peninggalan lama.
Gerakan Al Imam Muhammad Abduh dan gurunya Jamaluddin Al Afghani yaitu gerakan yang telah membangun kembali ilmu-ilmu agama yang kemudian dilanjutkan oleh As Said Rasyid Ridhla. Kemudian timbulah jiwa baru yang cenderung untu mempelajari kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan muridnya. Anggota-anggota gerakan inilah yang dinamakan Salafiyyin.

Sumber: http://romipermadi.blogspot.com/2011/04/pertumbuhan-dan-perkembangan-ilmu.html & Buku (Sejarah & Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, pengarang Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi,  Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999)

Sabtu, 05 November 2011

Aqidah - Hubungan Antara Iman Dengan Ibadah dan Etika atau Moral

Di samping istilah akhlak juga dikenal etika dan moral ketiga istilah ini sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap perbuatan manusia. perbedaannya terletak pada standar masing-masing. Bagi akhlak standarnya adalah Al-Qur’an dan assunah, bagi etika standarnya adalah akal pikiran; dan bagi moral standarnya adalah adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.
Definisi-definisi akhlak dapat dilihat pada lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:
  1. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. 
  2. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran.
  3. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. 
  4. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. 
  5. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan ikhlas semata karena Allah swt, bukan karena ingin mendapat pujian.
Sumber: http://www.masbied.com/2011/02/22/aqidah-akhlak/#more-205 

“Sesungguhnya mengerjakan (ibadah) salat itu akan dapat mencegah seseorang dari melakukan kejahatan dan kemunkaran.”
(Q.S Al-Ankabut: 45)
Ayat ini menegaskan, orang yang melaksanakan salat akan menjauhi diri dari perbuatan jahat dan munkar. Ini tentu apabila salat tersebut dilaksanakan dengan baik dan benar yang disertai dengan penuh keimanan kepada Allah SWT.
Sumber: Buku (Tauhid Ilmu Kalam hal. 40-41), pengarang Drs. H. Muhammad Ahmad 
Secara sederhana akhlak Islami dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak dalam hal menempati posisi sebagai sifat.
Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah-daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal. Namun dalam rangka menjabarkan akhlak islami yang universal ini diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan social yang terkandung dalam ajaran etika dan moral.
Dengan kata lain akhlak Islami adalah akhlak yang disamping mengakui adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai bersifat local dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu. Namun demikian, perlu dipertegas disini, bahwa akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika atau moral, walaupun etika dan moral itu diperlukan dalam rangka menjabarkan akhlak yang berdasarkan agama (akhlak Islami). Hal yang demikian disebabkan karena etika terbatas pada sopan santun antara sesame manusia saja, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Jadi ketika etika digunakan untuk menjabarkan akhlak Islami, itu tidak berarti akhlak Islami dapat dijabarkan sepenuhnya oleh etika atau moral.
Ruang lingkup akhlak Islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesame makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa).
Dalam masyarakat, istilah moral (etika) sering digunakan sebagai pengganti dari kata kepribadian.
Pembentukan kepribadian bukanlah suatu proses yang berlangsung cepat, melainkan memakan waktu yang cukup panjang. Ia berproses dalam setiap pribadi manusia sejak pribadi itu masih berada dalam kandungan dan berkembang terus setelah ia dilahirkan. Karena itulah, Islam mengajarkan kepada setiap manusia (wanita) yang sedang mengandung untuk banyak berdoa dan mengingat Allah.
Sumber: Buku (Tauhid Ilmu Kalam hal. 41-42), pengarang Drs. H. Muhammad Ahmad
Akal dan nurani seorang setiap manusia dapat dilihat melalui kelakuan yang biasa ia tampakkan dalam keseharian. Dengan kata lain, akhlak merupakan satuan ukuran yang digunakan untuk mengukur ketinggian akal dan nurani seseorang.“Rasulullah bukanlah seorang yang keji dan tidak suka berkata keji, beliau bukan seorang yang suka berteriak-teriak di pasar dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan sebaliknya, beliau suka memaafkan dan merelakan”. (HR. Ahmad)Nabi saw bersadba, “Aku menjamin sebuah rumah di surga yang paling tinggi bagi orang-orang yang berakhlak baik”. (HR. Abu Dawud)Dengan demikian, ibadah dan akhlak merupakan pasangan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Ibadah dan akhlak laksana pohon dengan buahnya. Kualitas akhlak merupakan cermin dari kualitas ibadah seseorang. Setiap manusia pastilah memiliki akhlak. Dan setiap akhlakqul karimah merupakan buah dari ketaataannya kepada Allah swt.
Kepribadian yang hendak dicapai dalam ajaran islam adalah ketakwaan. Karena itu, setiap proses pembentukan kepribadian harus diorientasikan kepada ketakwaan tersebut. Takwa yang dimaksud disini adalah takwa dalam arti luas, tidak hanya menyangkut keimanan dan ibadah ritual saja, tetapi juga menyangkut hubungan antara sesama manusia dan lingkungannya, termasuk masalah kemasyarakatan dan kenegaraan. Penanaman tauhid yang baik dan benar kepada anak sangat menentukan terwujudnya kepribadian takwa tersebut.
Sumber: Buku (Tauhid Ilmu Kalam hal. 432), pengarang Drs. H. Muhammad Ahmad\

Iman tidak sempurna tanpa moralitas. Iman adalah suatu kekuatan yang membuat manusia jauh dari atribut rendah dan bertindak tak terkendali, dan mendorong dia untuk mencapai atribut yang tinggi dan moral yang bersih. Itu sebabnya setiap kali Allah memanggil hamba-Nya ke arah kebajikan atau kapanpun Ia menginginkan mereka membenci kejahatan, Ia menyatakannya sebagai syarat penting dari Iman dalam hati mereka. Misalnya ketika Ia, dalam Surah Taubah, memerintahkan manusia untuk mengikuti kebenaran dan untuk berbicara kebenaran, Ia berbicara kepada mereka seperti ''Hai kalian yang memiliki iman" (atau "Hai kalian yang beriman"): "Hai kalian, yang memiliki iman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar." (Taubah: 119)

Nabi Allah telah menjelaskan dengan baik bahwa bila iman kokoh dan keyakinan kuat, maka moral yang kuat dan tahan lama akan terbangun, dan jika karakter moral rendah, maka iman akan ikut menjadi lemah.

Seorang pria, yang tidak beradab dan berkelakuan buruk dan mengikuti kebiasaan buruk tanpa peduli orang lain, adalah seperti orang yang dikatakan oleh nabi SAW:
"Moral dan iman adalah saudara kembar. Bila yang satu hilang maka kita pasti akan kehilangan yang lainnya pula".

Sumber: http://lintas-islam.blogspot.com/2011/03/kelemahan-moral-bukti-dari-kurangnya.html

Aqidah - Aplikasi Keimanan Dalam Berbagai Aspek Kehidupan

Kata Iman berasal dari bahasa Arab yang berarti tasdiq (membenarkan). Iman ialah kepercayaan dalam hati meyakini dan membenarkan adanya Tuhan dan membenarkan semua yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam pembahasan ilmu kalam atau ilmu tauhid, konsep iman terbagi menjadi tiga golongan, yaitu: 
  1. Iman adalah tasdiq di dalam hati akan mujud Allah dan keberadaan Nabi atau Rasul Allah.
  2. Iman adalah tasdiq di dalam hati dan diikrarkan dengan lidah. 
  3. Iman dalah tasdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. 
Sumber: Buku (Tauhid Ilmu Kalam hal. 19), pengarang Drs. H. Muhammad Ahmad

Perbadaan filsafat dan ilmu kalam 
Filsafat berasal dari kata filos yg berarti cinta dan Sophia yg berarti hikmah atau pengetahuan.
Dengan kata lain filsafat berarti cinta terhadap ilmu pengetahuan. Secara istilah filsafat berarti ilmu yg berusaha mencari sebab musabab dari segala sesuatu, memecahkan permasalahan dan mencari kebenaran sesungguhnya. Orang yg menekuni ilmu filsafat disebut filosof.
Dikalangan Islam filsafat dipandang perlu untuk dipelajari untuk menyiarkan, mengembangkan pemikiran, memperkuat dan mempertahankan agama Islam, dalam Islam dikenal sebagai Ilmu kalam. Orang yg menekuni ilmu kalam dinamakan mutakalimin.
Perbedaan keduanya yaitu:
  • Mutakalimin
Cara mempelajari: Nas Agama (Al Qur’an dan Hadits), yang dipelajari hanya terbatas hal-hal yang menurut nas mungkin diketahui.seperti roh, mutakalimin tidak mempelajari zat tuhan.
  • Filosof
Cara mempelajari: Argumen rasional bahkan kadang menggunakan takhwil Al Qur’an, yang dipelajari tidak terbatas bahkan zat tuhan, roh dsb.

Kesimpulan (1) dapat dikemukakan bahwa perbedaan antara ilmu kalm
dan filsafat adalah dalam ilmu kalam, filsafat dijadikan sebagai alat untuk membenarkan ayat-ayat al-Qur’an, sedangkan dalam filsafat sebaliknya, ayat-ayat al- Qur’an dijadikan bukti untuk membenarkan hasil-hasil filsafat.
Kesimpulan (2) Pembahasan dalam ilmu kalam terbatas pada hal-hal yang tertentu saja.Masalah yang dimustahilkan al-Qur’an mengetahui tidak dibahas oleh ilmu kalam tetap dibahas oleh filsafat

Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa akidah (keimanan) mempunyai kaitan yang erat dengan syariat (ibadah) dalam agama Islam dengan diumpamakan sebagai pohon dengan buahnya. Dan sejauh mana antara keimanan dan ibadah terdapat hubungan, atau keimanan dapat mempengaruhi ibadah.
Yang dimaksud dengan akidah dalam pembahasan berikut ini adalah keimanan atau keyakinan, sedangkan syariat adalah amaliah keagamaan seseorang. Dengan demikian, pembahasan tentang hubungan antara akidah dan syariat yang dimaksudkan adalah apa hubungan antara akidah dan syariat disampaikan sejauh mana keimanan dapat mempengaruhi ibadah dan sebaliknya.
Sumber: Buku (Tauhid Ilmu Kalam hal. 39), pengarang Drs. H. Muhammad Ahmad

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, …”
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman, …”
Pada suatu saat dalam kehidupan manusia, ada sekelompok orang dari golongan orang-orang miskin mengajukan keluhan kepada Rasulullah saw tentang kehidupan mereka. Mereka merasa ada yang tidak fair dalam hidup ini, mereka melihat orang-orang kaya melakukan sholat, puasa, dan ibadah-ibadah sunnah lainnya, sebagaimana mereka lakukan, tetapi orang-orang kaya itu bisa bersedekah dengan hartanya, suatu hal yang tidak bisa mereka lakukan. Dikatakan oleh Rasulullah saw;”Maukah kalian aku beri sesuatu yang bila dilakukan kalian akan melampui mereka? Yakni bacalah Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x dan Allah Akbar 33x setiap selesai sholat fardhu.” Setelah sekian waktu berlalu, sekelompok orang dari golongan orang-orang miskin itu datang lagi kepada Rasulullah saw, “Orang-orang kaya itu mengetahui dan juga mengamalkan sebagaimana yang kami lakukan!” “Itulah kehidupan!” jawab Beliau saw. (kuranglebihnya begitu,lebih jelasnya lihat:HR.Bukhori-Muslim)

“Sesungguhnya mengerjakan (ibadah) salat itu akan dapat mencegah seseorang dari melakukan kejahatan dan kemunkaran.”
(Q.S Al-Ankabut: 45)
Ayat ini menegaskan, orang yang melaksanakan salat akan menjauhi diri dari perbuatan jahat dan munkar. Ini tentu apabila salat tersebut dilaksanakan dengan baik dan benar yang disertai dengan penuh keimanan kepada Allah SWT.
Sumber: Buku (Tauhid Ilmu Kalam hal. 40-41), pengarang Drs. H. Muhammad Ahmad 

Dalam Al-Quran disebutkan “berpikirlah tentang makhluk Allah dan jangan kamu berpikir tentang zat Allah, sebab kamu tidak akan mencapai hakekatnya.”
Bentuk, wajah Allah bukan jangkauan akal manusia,sebab akal manusia hanya terbatas pada hal-hal yg bersifat nyata,yang dapat dijangkau oleh rasio.
Dengan keyakinan penuh adanya Allah SWT, maka manusia akan mempercayai Rukun iman yang lain(malaikat,kitab,rasul,hari kiamat dan qodo dan qodar)
Dengan keimanan yang kuat mendorong meningkatnya frekuensi ibadah,sebab ibadah adalah indicator keimanan manusia disamping sikap,tingkah laku dan perbuatan manusia. Dengan kata lain ketebalan iman bergantung pada kualias ibadahnya.memelihara Iman paling penting dengan cara zikir disetiap keadaan, dan selalu ingat akan kewajibannya sebagai hamba Allah.
Orang yang tertanam Iman di dadanya,diikutu amal ibadah dan ditunjang dengan sikap,perilaku dan perbuatan nilai-nilai kethuidan dinamakan muttaqin

Iman dan amal shaleh ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Meskipun konsep iman itu sifatnya abstrak, tapi amal shaleh yang lahir dari seseorang merupakan pantulan dari keimanan tersebut. Itulah sebabnya sehingga sejumlah ayat dalam al-Qura’n selalu menyandingkan iman dengan amal shaleh. Tingkat keberimanan seseorang akan melahirkan prilaku-prilaku kongkrit dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hubungan itu, sehingga Rasulullah saw. dalam sejumlah hadis selalu mengaitkan tingkat kesempurnaan iman seseorang dengan prilaku sehari-hari. Di antara prilaku yang dijadikan Rasulullah saw. sebagai parameter keberimanan seseorang adalah sejauhmana tingkat kepeduliaan seseorang terhadap sesamanya manusia.
Hadis di atas menegaskan bahwa di antara ciri kesempurnaan iman seseorang adalah bahwa ia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. Kecintaan yang dimaksudkan di sini termasuk di dalam rasa bahagia
jika melihat sesamanya muslim mendapatkan kebaikan yang ia senangi, dan tidak senang jika sesamanya muslim mendapat kesulitan dan musibah yang ia sendiri membencinya. Ketiadaan sifat seperti itu menurut hadis di atas menunjukkan kurang atau lemahnya tingkat keimanan seseorang.